Sabtu, 15 Juni 2013

Utang Negara dihilangkan atau dikelola

Meskipun utang negara bukanlah masalah baru bagi Indonesia, tidak berarti kehadirannya sama sekali bebas dari kontroversi. Akan tetapi masalah ini baru dirasakan cukup serius dan mengarah kepada persoalan politik dan kebijakan sejak terjadinya transfer negatif bersih (net negatif transfer) dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun anggaran 1984/1985.
Kalau dilihat angka-angkanya, secara absolut utang negara cenderung meningkat. Seperti data yang dilansir Koalisi Anti Utang (KAU), selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2004-2009 total utang negara Indonesia termasuk dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) meningkat 30,74% dari Rp. 1. 275 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 1667 triliun pada tahun 2009.
Dengan melihat angka kenaikkan tersebut, berarti pemerintahan SBY dalam satu periode telah menambah utang luar negeri sebanyak Rp. 392 triliun dalam jangka waktu kurang dari 5 tahun. Jika angka tersebut dibagi per tahun maka rata-rata peningkatan utang negara selama pemerintahan SBY periode 2004-2009 sebesar Rp. 78,4 triliun per tahun.
hal ini ibarat dua sisi mata uang, utang diperlukan untuk membangun negara namun sisi lain, utang bisa menjerat negara peminjamnya. Tak heran, masalah utang ini menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda.
Bicara tentang utang negara dalam konteks kebijakan publik, terdapat dua cara pandang yang berbeda. Cara pandang pertama dikenal sebagai developmentalisme yang melihat utang sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi program pembangunan sebuah negara dan diyakini memiliki dampak yang positif bagi perekonomian dan berujung pada kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, pandangan yang berseberangan dikenal sebagai strukturalisme yang melihat utang sebagai instrumen kebijakan yang harus dihilangkan karena merupakan akar ketergantungan. Pandangan ini melihat bahwa utang sengaja diciptakan untuk menekan masyarakat dan mengorbankan kesejahteraan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan kaum borjuis dan agen-agen kapitalisme.
Dinamika proses yang terjadi berakar pada perbedaan cara pandang yang melatarbelakangi setiap elite/aktor. Perbedaan cara pandang tersebut berasal dari dua kutub pemahaman, yaitu strukturalisme dan developmentalisme sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, beberapa kalangan masyarakat sipil dan elite individu kritis yang mempresentasikan pandangan strukturalisme berhadapan dengan pemerintah yang merepresentasikan pandangan developmentalisme.
Argumentasi yang sering kal dipergunakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Bappenas, ketika tidak menolak tambahan utang baru dengan argumen bahwa jumlah stok utang Indonesia belum mengkhawatirkan atau dalam posisi yang aman. Argumentasi ini menggunakan ukuran rasio stok utang terhadap PDB.
Sehingga meskipun fakta menunjukkan bahwa telah terjadi penambahan jumlah nominal stok utang secara absolut selama masa pemerintahan SBY, namun menurut pemerintah, produk domestik bruto (PDB) juga naik secara tajam hingga menyebabkan perbandingan stok utang nominal terhadap PDB menjadi jauh berkurang. Kedepanpun pemerintah memilih untuk terus mengefisiensikan pengelolaan utang dengan menekan rasio utang negara terhadap PDB hingga mencapai 24-25% pada tahun 2014.

Kontroversi Utang Negara
Sebagai negara bekas jajahan, para bapak pendiri bangsa memiliki komitmen untk mengembangkan sebuah ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial. Sebagaimana didefiniskan Soekarno, yang dimaksud dengan ekonomi kolonial adalah sebuah perekonomian yang memiliki 3 ciri sebagai berikut: 1) merupakan sumber bahan baku bagi negara-negara industri; 2) merupakan pasar bagi barang-barang hasil industri mereka;dan 3) merupakan tempat berinvestasi bagi modal negara-negara industri tersebut.
pada dasarnya, pandangan negatif tentang utang luar negeri bisa dilihat dari beberapa sisi. Setidaknya ada 4 hal yang perlu dicermati tentang utang luar negeri, yaitu dari segi efektifitaskelembagaan,ideologi dan implikasi sosial dan politik.
dari segi efektifitas, secara internal, utang luar negeri tiak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara dunia ketiga, tetapi juga diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat dan melebarnya kesenjangan. Sementar secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara dunia ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan kebutuhan terhadap utang luar negeri secara berkesinambungan.
Kedua, dari segi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) tidak hanya dipandang telah bersikap tidak transparan dan akuntabel,tetapi juga diyakini telah bekerja sebagai perpanjangan tangan negara-negara dunia pertama pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara penerimaan pinjaman.
Ketiga, dari segi ideologi, utang luar negeri diyakini telah digunakan oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika Serikta, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberalisme ke seluruh penjuru dunia, yang dengan itu pula negara-negara pemberi utang telah berkesempatan menguras potensi ekonomi negara-negara penerima pinjaman.
Keempat, dari segi implikasi sosial dan politiknya, di mana utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman, tetapi juga secara tidak langsung diyakini turut bertanggung jawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan.
Demikian juga bagi negara-negara peminjam seperti Indonesia, kesadaran tentang aspek ekonomis politis dari utang negara pada gilirannya akan melahirkan perbedaan pandangan, khususnya dari para elite/editor dan para pengambil kebijakan di negara-negara tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar