Jumat, 19 Juli 2013

Hutan International

Perubahan iklim telah mendorong perjuangan dekade-panjang melawan deforestasi kembali menjadi sorotan internasional, dan memang demikian. Deforestasi adalah masalah mendesak yang memiliki dampak yang luas. Hilangnya hutan rekening di seluruh dunia untuk antara 15 dan 20 persen dari emisi gas rumah kaca, dan hutan sangat penting untuk mengatur iklim, baik lokal maupun global. Tetapi hutan bukan hanya paru-paru bumi - mereka juga repositori terbesar dari keanekaragaman hayati dan budaya di bumi, dan rumah bagi 350 juta orang, termasuk setidaknya 60 juta masyarakat adat yang telah dilindungi dan dipertahankan hutan sejak zaman dahulu.
Salah satu pendorong pertumbuhan tercepat deforestasi, emisi gas rumah kaca, dan pemindahan masyarakat yang tinggal di hutan adalah perluasan perkebunan kelapa sawit di seluruh daerah tropis untuk produksi makanan, bahan bakar dan kosmetik. Perluasan perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerusakan hutan besar-besaran dan konflik yang sedang berlangsung dengan kelompok-kelompok adat dan masyarakat lokal. Pada gilirannya, driver utama dari kecenderungan ini mencakup investasi dalam akuisisi lahan skala besar, peningkatan pesat di kedua harga komoditas dan spekulasi komoditas, dan pertumbuhan eksponensial dari penggunaan biofuel dan investasi - tren yang diharapkan dapat berlanjut di masa mendatang , kecuali menahan melalui tindakan yang ditargetkan oleh pemerintah, pendukung hak-hak lingkungan, dan kelompok masyarakat sipil.
Skala akuisisi besar tanah merupakan ancaman besar bagi masyarakat lokal, tata kelola hutan, dan hak atas sumber daya di seluruh dunia. Transaksi tanah antara investor dan pemerintah cenderung terjadi dalam kerahasiaan, meminggirkan masyarakat dan petani yang terkena dampak dan menyebabkan pengusiran orang-orang dari tanah mereka tanpa kompensasi yang layak. Penggunaan istilah 'lahan meraih' berlaku untuk tanah yang sebelumnya digunakan oleh masyarakat lokal, biasanya untuk pertanian subsisten, dan kemudian disewakan atau dijual kepada investor luar (termasuk perusahaan dan pemerintah), merugikan kepentingan masyarakat. Perampasan tanah adalah memperluas dan memperdalam tren privatisasi yang telah memperdalam kemiskinan dan mengancam kedaulatan pangan miliaran orang yang paling rentan di dunia.
Perhatian yang signifikan telah dibawa untuk menanggung dalam beberapa tahun terakhir pada gelombang lahan pertanian-diperebutkan dan keprihatinan terkait untuk kerawanan pangan. Kurang dikenal adalah dampak langsung dari akuisisi tanah asing pada deforestasi, dan pada kehancuran besar-besaran hutan primer dan sekunder dan penggantian dengan monokultur industri. Antara tahun 1990 dan 2010, luas lahan global yang ditujukan untuk perkebunan telah tumbuh sebesar 400 persen, dengan korespondensi langsung dengan terburu-buru global perampasan tanah. Hutan tidak akan dipertahankan kecuali hak adat dan kepemilikan lahan masyarakat lokal diperkuat dan didukung.
Analisis oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bengkulu, Program Hutan telah mendorong kami untuk menentukan bahwa harapan terbaik kami keberhasilan dalam mencegah penggundulan hutan adalah untuk mengambil pendekatan tiga cabang oleh:
1) fokus pada pendorong ekonomi deforestasi, dan langsung menargetkan sektor keuangan;
2) mempengaruhi aturan investasi global untuk mengakhiri tren menyambar tanah, dan
3) mempromosikan kebijakan dan praktek-praktek yang memperkuat hak-hak sumber daya masyarakat hutan, mendorong keragaman biokultur, dan membangun kapasitas untuk tanah berbasis hak dan tata kelola hutan.

Senin, 08 Juli 2013

'Revitalisasi Perkebunan" Instrumen perampasan Lahan

Program revitalisasi perkebunan ini telah dimulai semenjak 2007 yang bertujuan mempercepat pengembangan perkebunan rakyat melalui aktivitas peremajaan, perluasan dan rehabilitasi kepada tiga komoditas (kelapa sawit, karet dan kakao). Kebijakan ini menggunakan pendekatan pola inti rakyat dan plasma dengan melibatkan perusahaan perkebunan dengan petani, yang berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan No.117/PMK.06/2006 Peraturan Menteri Pertanian No.33/Permentan/OT.140/7/200 Revitalisasi perkebunan ini telah dilaksanakan dua tahap yaitu tahap pertama 2007-2010 dan tahap kedua 2011-2014. Untuk tahap pertama, target luas lahan perkebunan yang direvitalisasi mencapai 2 juta hektare. Terdiri dari kelapa sawit ditargetkan 1,5 juta hektare, karet seluas 300 ribu hektare, dan kakao seluas 200 ribu hektare.   Dari target dua juta hektare tersebut yang dapat  terealisasi 165.241 hektare atau sekitar 11% hingga akhir 2010.
tapi apa yang terjadi sampai dengan saat ini, dari tahun 2006 saat program ini pertama kali diluncurkan, belum ada terlihat masyarakat petani yang telah menikmati hasil dari program tersebut,karena dengan program non mitra dan mitra membuat para petani kesulitan mendapatkan dana pinjaman tersebut secara non mitra (langsung petani), sehingga para masyarakat petani seperti “dipaksakan” harus mencari perusahaan perkebunan sebagai penjamin (mitra).
kebijakan ini juga sesungguhnya sangat merugikan para petani, karena :
Petani mandiri/swadaya seakan dipaksa harus bermitra dengan perusahaan agar mendapatkan pinjaman dari Bank utk membantu menggarap lahan, sementara petani non mitra jangan berharap dapat mengajukan pinjaman apabila tidak mempunyai penjamin (avalis)/ “ Bapak Angkat”.
Program dan kebijakan ini bersifat “ Pola Satu Atap”Dalam mekanisme program ini kami melihat justru pihak petani lebih cenderung dirugikan dan pihak perusahaan jauh lebih diuntungkan, karena tidak mungkin pihak perusahaan memberikan pinjaman tanpa jaminan,karena pihak Bank juga tidak akan merealisasikan uang tersebut apabila tanpa memenuhi prosedur-prosedur,seperti Biasanya dalam program ini petani harus menyerahkan kepemilikan kebun sebagai jaminan utang yang nantinya diserahkan pada bank dan produksi sawit petani mesti harus menjual pada pihak perusahaan dalam hal ini (PT.SIL) dengan harga yg ditetapkan perusahaan. Seperti pada kasus PTPN XIII di Kalimantan Timur Artinya, jika program ini berjalan maka petani harus menanggung utang selama kurang lebih 15 tahun bila ditafsir mencapai Rp. 120 Juta dari utang awal (Jika utang pada perusahaan, maka biasanya perusahaan akan memberikan utang  pada petani lebih dari standar biaya penanaman bahkan mencapai 2x lipat). Padahal bila kewajiban replanting dilaksanakan sendiri petani hanya menelan dana sebesar Rp. 20 Juta untuk pembelian bibit dan perawatan kebun hingga mampu produksi. jika terjadi kegagalan dalam pengelolaannya yang berakibat bangkrutnya perusahaan dalam hal ini PT. SIL sebagai pihak avalis (penjamin) petani, resikonya pihak bank akan menyita semua asset termasuk jaminan pinjaman milik petani.Belum adanya komitmen yang serius dalam jaminan penyediaan bibit unggu, pupuk, dll.Pihak perusahaan menyerahkan pengelolaan manajemen satu atap dan petani sawit pemilik lahannya masing-masing, jadi pihak perusahaan bisa lepas tangan saat ada masalah.

Rabu, 19 Juni 2013

KLASIFIKASI KONFLIK AKIBAT EKSPLOITASI BATUBARA DI PROVINSI BENGKULU

Batubara menjadi salah satu kekayaan alam terbesar yang menjadi salah satu penggerak perekonomian di Propinsi Bengkulu. Meningkatnya jumlah perusahaan tambang yang berkembang di Bengkulu menjadi salah satu indikatornya. Pertambangan batubara di Bengkulu tersebar mulai dari kabupaten yang paling selatan yaitu Kabupaten Mukomuko hingga ke Kabupaten Bengkulu Tengah. Pemerintah Bengkulu membuka peluang yang sangat besar untuk tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan tambang batubara ini.
Keberadaan pertambangan batubara membawa berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat positif dan akibat negatif dalam kehidupan masyarakat Bengkulu. Beberapa wilayah di Kabupaten Bengkulu Tengah mengalami kondisi tercemarnya limbah sungai yang ada di desa mereka akibat limbah batubara. Selain itu terdapat juga permasalahan rusaknya jalan raya yang ada di Bengkulu akibat sering dilalui oleh truk-truk pengangkut batubara dalam kapasitas muatan yang seringkali melebihi ketentuan dan melalui jalan-jalan yang tidak memiliki kemampuan untuk menampung beban yang terlalu berat. Jalan raya akhirnya menjadi rusak dan bergelombang akibat sering dilalui oleh truk pengangkut batubara ini. Kondisi ini telah terjadi sejak sekitar 5 tahun belakangan ini dan ini menyebabkan jalan raya terutama jalan penghubung antar kota/kabupaten mengalami kerusakan fatal.
Konflik antara masyarakat yang tinggal di sekitar lahan pertambangan batubara dengan pihak perusahaan tambang juga terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara keduanya. Kondisi ini jika dibiarkan mampu menimbulkan konflik yang lebih meluas antara pihak perusahaan tambang atau pihak kapitalis pemodal yang memodali keberadaan tambang, masyarakat di sekitar lingkungan pertambangan, pihak pemerintah dan pihak pemerhati lingkungan yang peduli terhadap kondisi lingkungan.
Booming pertambangan batubara sedang melanda Bengkulu sejak sepuluh tahun terakhir. Kondisi ini ditandai dengan banyaknya jumlah pertambangan batubara yang melakukan kegiatan eksplorasinya di Bengkulu. Kegiatan ini pada satu sisi mampu menghidupkan perekonomian Bengkulu yang sebelumnya terpusat pada pengembangan perkebunan kelapa sawit, karet dan tanaman industri lainnya. Perlahan-lahan komoditi andalan Bengkulu bukan lagi terfokus pada pengembangan tanaman industri tetapi telah beralih pada eksplotasi batubara.
Data Walhi Propinsi Bengkulu memiliki luasan 1.978.870 Ha menyimpan kandungan mineral, dan batubara yang besar terbentang mulai dari Kabupaten Mukomuko hingga Kabupaten Kaur. Walhi Bengkulu juga mengungkapkan bahwa sebanyak 50 perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin eksplorasi maupun eksploitasi di Bengkulu. Pertambangan yang mendapatkan izin tersebut meliputi pertambangan batubara, emas, dan pasir besi. Hasil pertambangan tersebut sebanyak 80 persen produksi pertambangan di Indonesi akan diekspor untuk memenuhi konsumsi negara-negara penyumbang karbon yang memicu pemanasan global seperti, Amerika Serikat, China, India, dan Singapura.
Kegiatan ini tentu saja mendapat izin dan lampu hijau dari pemerintah Bengkulu dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut akan mampu mengembangkan perekonomian di Bengkulu. Perekonomian Bengkulu masih tertinggal dibandingkan propinsi lainnya yang ada di Indonesia, melalui izin eksploirasi batubara yang diberikan diharapkan akan mampu menyuntikkan semangat baru bagi peningkatan pembangunan dan perekonomian masyarakat Bengkulu.
Pembangunan di Bengkulu yang dianggap tertinggal diharapkan akan bisa lebih maju dengan cara memberikan izin eksploirasi terhadap kekayaan sumber daya alam yang tersebar di kabupaten-kabupaten yang ada di Propinsi Bengkulu. Kekayaan sumber daya alam di kabupaten tersebut dianggap belum digali secara optimal dan belum dimanfaatkan dengan baik demi pembangunan masyarakat. Hingga akhirnya pemberian izin dilakuan secara bombastis bahkan tanpa memperhitungkan aspek amdal dari kegiatan pertambangan yang akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan investor tersebut.
Kandungan mineral yang terdapat di Bengkulu membuat keberadaan pertambangan batubara kian marak berlangsung di Bengkulu, izin eksploirasi terus diberikan kepada para pemilik modal yang ingin membuka perusahaan pertambangan batubara baru dan melakukan kegiatan eksploitasi batubara yang ada di Bengkulu. Hingga saat ini tercatat ada sekitar 36 kegiatan survay awal, survey lanjut hingga tahap eksploirasi batubara yang tengah dilakukan di beberapa daerah di Bengkulu.
Eksploirasi yang dilakukan juga seringkali melupakan aspek kesejahteraan masyarakat sekitar lingkungan tambang. Mereka menjadi sosok yang terlupakan dalam pelaksanaan eksploirasi ini, hingga akhirnya konflik terjadi akibat perbedaan kepentingan antara masyarakat sekitar lokasi pertambangan, pemilik modal atau pengusaha pertambangan dan bahkan terkadang konflik juga berimpas pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap menanaktirikan masayarakat di sekitar lokasi pertambangan.
Maraknya Pertambangan Batubara di Bengkulu dan Problematika yang ditimbulkannya.
Geliat pembangunan di Bengkulu salah satunya ditandai dengan keberadaan pertambangan batu bara yang tersebar hampir di seluruh kabupaten yang ada di Bengkulu. Pertambangan batubara menjadi salah satu andalan penggerak pembangunan di Bengkulu. Pertambangan batubara berkembang pesat seiring dengan ditemukannya kandungan batubara di beberapa daerah yang ada di Bengkulu. Salah satu daerah yang saat ini perkembangan pertambangan batubaranya sangat pesat adalah Kabupaten Bengkulu Tengah. Kabupaten Bengkulu Tengah merupakan kabupaten baru hasil pemekaran wilayah pada tahun 2008. Kabupaten Bengkulu Tengah memiliki sumber daya alam kandungan batubara yang sangat luas. Di salah satu kecamatan yang ada di kabupaten ini yaitu Kecamatan Taba Penanjung memiliki hingga tujuh tambang batu bara3. Kabupaten lainnya juga memiliki tambang batubara dalam jumlah yang relatif banyak. Tambang batubara tumbuh subur di tengah-tengah pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan keleluasaan sepenuhnya bagi aparat pejabat pimpinan daerah untuk memberi izin usaha pertambangan.
Maraknya tambang batubara yang ada di Bengkulu menimbulkan berbagai persoalan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Sekelumit gambaran mengenai permasalahan yang ditimbulkan oleh pertambangan batubara dalam keidupan masyarakat Bengkulu adalah sebagai berikut :
1.      Terjadinya Perselisihan Hak Kepemilikan Lahan Antara Warga Masyarakat Sekitar Tambang dan Pihak Perusahaan Tambang Batubara
kecenderungan pemerintah untuk memberikan izin bagi eksploirasi sumber daya alam terutama di bidang pertambangan cenderung tidak mengindahkan kondisi lahan yang sebelumnya telah menjadi lahan pertanian atau perkebunan garapan penduduk yang tinggal disana atau di lokasi pertambangan tersebut. Timbullah konflik agraria yang terjadi antara penduduk di lokasi pertambangan dan pemodal yang membuka lahan pertambangan tersebut. Masyarakat yang telah memahami mengenai dampak kerusakan lingkungan yang dapat disebabkan oleh adanya pertambangan seringkali menolak jika terjadi survey awal dalam kegiatan eksploirasi pertambangan. Seperti yang terjadi di Desa Rindu Hati, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah. Masyarakat memiliki penolakan terhadap rencana pemerintah yang ingin membuka pertambangan batubara di sekitar desa mereka, tetapi penolakan masyarakat tersebut sia-sia belaka sebab pemerintah tetap memberikan izin usaha pertambangan bagi perusahaan batubara untuk beroperasi di dekat desa mereka tersebut.
Masyarakat memiliki alasan dan keberatan tersendiri untuk menolak keberadaan tambang batubara yang akan dioperasikan di dekat desa mereka, tetapi semua keberatan mereka tersebut tidak dipertimbangkan oleh pemerintah. Masyarakat menilai bahwa keberadaan tambang batubara tidak membawa implikasi positif bagi peningkatan kehidupan perekonomian mereka. Mereka tetap miskin dan hal inilah yang menjadi dasar penolakan mereka. Perusahaan tambang batubara yang beroperasi di sekitar daerah tempat tinggal mereka dinilai tidak mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
2.      Rusaknya Kawasan Hutan dan Daerah Aliran Sungai Akibat Keberadaan Pertambangan Batubara
Pemberian izin survey lokasi yang diduga mengandung batu bara dan pelaksanaan ekslporasi batu bara dipermudah demi kepentingan para investor dan pemilik modal yang ingin mengelola batu bara tersebut. Pemberian izin eksploirasi yang sangat mudah diberikan oleh pemerintah Bengkulu ini karena kewenangan pemberian izin telah menjadi hak pemimpin daerah yang muncul seiring berlakunya otonomi daerah. Keinginan tiap-tiap kepala daerah yang ada di kabupaten/kota yang baru terbentuk untuk memajukan perekonomian di daerahnya membuat mereka mempermudah pemberian izin usaha bagi para investor di daerahnya. Pemberian izin usaha ini berimbas pada keleluasaan para pemilik modal untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam yang terdapat di daerah tersebut. Hingga akhirnya pemberian izin yang tidak disertai dengan pertimbangan amdal ini malah berdampak terhadap kerusakan lingkungan yang ada.
Kemudahan proses perizinan untuk melakukan proses survey awal hingga ke tahap survey akhir dan berlanjut melakukan eksplorasi di daerah-daerah yang mengandung batubara menyebabkan maraknya keberadaan pertambangan batubara yang ada di Bengkulu. Kemudahan izin ini terutama sekali diberikan oleh kepala daerah yang merupakan pimpinan dari kabupaten yang baru terbentuk dari hasil otonomi daerah seperti kabupaten Bengkulu Tengah dan Mukomuko. Pemberian izin dimudahkan dengan tujuan agar semakin banyak invenstor yang menanamkan investasinya di daerah yang mereka pimpin. Investasi tersebut diharapkan akan menjadi salah satu motor penggerak pelaksanaan pembangunan di daerah tersebut.
Pada perkembangan lebih lanjut keberadaan pertambangan batubara yang sebelumnya telah ada di Propinsi Bengkulu telah menimbulkan suatu masalah tersendiri bari masyarakat Bengkulu. Izin eksploirasi yang telah diberikan kepada para investor dimanfaatkan mereka untuk melakukan pertambangan batubara dengan tidak terlalu memperhitungkan masalah amdal yang semestinya menjadi tanggung jawab mereka. Batubara yang telah didapatkan membuat mereka lupa bahwa dibalik eksploirasi yang telah mereka lakukan tersebut sesungguhnya semestinya mereka bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan di sekitar lokasi pertambangan dan juga harus memperhitungkan kesejahteraan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi pertambangan tersebut.
Pemberian izin untuk eksplorasi batu bara yang dilakukan oleh pemerintah Bengkulu seringkali tidak mempertimbangkan aspek kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pelaksanaan eksplorasi tersebut. Pelestarian lingkungan yang semestinya menjadi aspek penting dalam pemberian izin eksplorasi ini dianggap sebagai hal yang tidak penting. Hingga ketika eksploirasi telah berjalan maka dampak negatifnya terhadap alam sekitar lokasi pertambangan baru terlihat. Kerusakan lingkungan, hutan yang gundul dan tidak dilakukan reboisasi, kerusakan air tanah, rusaknya aliran air sungai menjadi berbagai dampak negatif yang muncul akibat eksplorasi hutan menjadi pertambangan batubara yang telah terjadi di daerah Bengkulu Tengah.
Perusahaan batubara yang benar-benar memiliki tanggung jawab amdal dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat yang ada dapat dihitung dengan jari. Bahkan karena telah terbukti tidak mampu bertanggungjawab terhadap kelestarian hutan yang terletak di sekitar wilayah penambangan batubara sekitar 7 buah perusahaan tambang batubara yang ada di Propinsi Bengkulu dicabut izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah. Pencabutan izin ini dilakukan karena perusahaan tambang tersebut dianggap merusak hutan dan lingkungan
Pencabutan izin tambang tersebut tidak membuat perusahaan tambang lainnya dengan serta merta memperbaiki amdal dan sistem pengolahan limbah mereka. Perusahaan lainnya yang ada tetap beroperasi seperti biasanya dan perbaikan terhadap sistem pengolahan limbah mereka dilakukan hanya seperlunya saja. Bahkan ada perusahaan batubara yang membuag limbah batubara mereka ke sungai Bengkulu. Limbah batubara yang dihanyutkan oleh aliran sungai ini akhirnya dipungut oleh warga masyarakat yang ada di sepanjang aliran sungai dan mereka akan jual kembali kepada pihak-pihak tertentu yang menyediakan jasa pembelian batubara hasil pungutan warga masyarakat tersebut.
Perusahaan batubara yang benar-benar memiliki tanggung jawab amdal dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat yang ada dapat dihitung dengan jari. Bahkan karena telah terbukti tidak mampu bertanggungjawab terhadap kelestarian hutan yang terletak di sekitar wilayah penambangan batubara sekitar 7 buah perusahaan tambang batubara yang ada di Propinsi Bengkulu dicabut izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah. Pencabutan izin ini dilakukan karena perusahaan tambang tersebut dianggap merusak hutan dan lingkungan.
Limbah batubara yang hanyut ke sungai menyebabkan pencemaran lingkungan dan ini menjadi suatu persolan baru lainnya yang terjadi di Propinsi Bengkulu, terkait kebijakan-kebijakan yang semestinya dilakukan oleh pemerintah agar pengelolahan limbah batubara dapat dilakukan dengan baik oleh perusahaan tambang batubara. Pemerintah Bengkulu telah beberapa kali mendapat teguran dari pihak LSM yang peduli terhadap permasalahan limbah ini.
Limbah batubara merusak lingkungan, terutama di daerah aliran sungai. Ini terjadi karena pihak perusahaan pertambangan batubara tidak memperhatikan proses pengolahan limbah batubara sesuai ketentuan amdal. Limbah batubara dibuang ke sungai yang masih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari mereka, air sungai menjadi bercampur batubara sisa pengolahan yang dibuang oleh perusahaan tambang ke sungai. Masyarakat yang didukung LSM peduli lingkungan seperti WALHI dan Ulayat Bengkulu pernah melakukan aksi demo menuntut agar pemerintah daerah lebih memperhatikan permasalahan ini dan melakukan tindakan berupa pemberian sanksi kepada para pengusaha yang membuang limbah batubaranya sembarangan ke sungai di Bengkulu. Pemberian sanksi diberikan oleh pemerintah ke perusahaan tambang yang dianggap telah merusak air sungai Bengkulu, sanksi berupa penghentian izin usaha pertambangan kepada tujuh perusahaan tambang batubara yang ada.
3.      Terjadinya Perselisihan Hak Kepemilikan Lahan Antara Warga Masyarakat Sekitar Tambang dan Pihak Perusahaan Tambang Batubara
Selain itu, kecenderungan pemerintah untuk memberikan izin bagi eksploirasi sumber daya alam terutama di bidang pertambangan cenderung tidak mengindahkan kondisi lahan yang sebelumnya telah menjadi lahan pertanian atau perkebunan garapan penduduk yang tinggal disana atau di lokasi pertambangan tersebut. Timbullah konflik agraria yang terjadi antara penduduk di lokasi pertambangan dan pemodal yang membuka lahan pertambangan tersebut. Masyarakat yang telah memahami mengenai dampak kerusakan lingkungan yang dapat disebabkan oleh adanya pertambangan seringkali menolak jika terjadi survey awal dalam kegiatan eksploirasi pertambangan. Seperti yang terjadi di Desa Rindu Hati, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah6. Masyarakat memiliki penolakan terhadap rencana pemerintah yang ingin membuka pertambangan batubara di sekitar desa mereka, tetapi penolakan masyarakat tersebut sia-sia belaka sebab pemerintah tetap memberikan izin usaha pertambangan bagi perusahaan batubara untuk beroperasi di dekat desa mereka tersebut.
Masyarakat memiliki alasan dan keberatan tersendiri untuk menolak keberadaan tambang batubara yang akan dioperasikan di dekat desa mereka, tetapi semua keberatan mereka tersebut tidak dipertimbangkan oleh pemerintah. Masyarakat menilai bahwa keberadaan tambang batubara tidak membawa implikasi positif bagi peningkatan kehidupan perekonomian mereka. Mereka tetap miskin dan hal inilah yang menjadi dasar penolakan mereka. Perusahaan tambang batubara yang beroperasi di sekitar daerah tempat tinggal mereka dinilai tidak mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Akar Permasalahan dalam Kegiatan Pertambangan Batubara di Bengkulu dan Potensi Konflik yang dapat terjadi.
Konflik pertambangan marak terjadi seiring semakin banyaknya perusahaan pertambangan batubara yang mendapatan izin untuk melakukan kegiatan penambangan di Bengkulu. Berdasarkan uraian maka dapat diungkapkan bahwa akar konflik pertambangan yang terjadi Bengkulu antara lain adalah sebagai berikut :
-          Pemberian izin usaha pertambangan (IUP) yang diberikan pemerintah kepada pihak pemodal tanpa pertimbangan secara seksama terkait dengan permasalahan amdal dari pertambangan tersebut. Perusahaan tambang menganggap permasalahan amdal bukan merupakan hal yang penting sehingga mereka membuat limbah batubara mereka sembarangan. Ini membuat kerusakan lingkungan dan merusak aliran air sungai yang dipergunakan oleh masyarakat. Masyarakat yang memprotes permasalahan ini akhirnya berkonflik dengan perusahaan tambang yang ada.
-          Perusahaan tambang merusak fasilitas umum berupa jalan raya yang dilalui truk-truk pengangkut batubara akibat kelebihan muatan dari truk tersebut. Muatan yang berlebih membuat jalan raya rusak, apalagi jika dalam seharinya berpuluh-puluh truk batubara melalui jalan yang sama. Sehingga dengan demikian maka tentu saja jalan raya akan dengan mudah mengalami kerusakan.
Kerusakan jalan yang telah terjadi mengakibatkan masyarakat melakukan protes dan terkadang berlanjut ke tindakan pemblokiran jalan-jalan yang biasanya dilalui oleh tru pengangkut batubara. Jalan yang rusak ini juga telah sering mengakibatkan kecelakaan lalu lintas pada pengendara kendaraan bermotor lain yang juga memanfaatkan jalan yang sama. Kecelakaan terjadi karena jalan yang telah dilalui truk pengangkut batubara menjadi bergelombang dan berlubang sehingga ini seringkali membahayakan pengendara jalan.

-          Lokasi perusahaan tambang dalam melakukan eksploirasinya seringkali merupakan lahan pertanian masyarakat setempat. Izin usaha pertambangan yang diberikan pemerintah seringkali membuat rakyat kehilangan haknya dalam mengelolah lahan pertanian. Masyarakat bertahan untuk terus melakukan kegiatannya bertani atau berkebun di lokasi pertambangan batubara, sedangkan perusahaan pertambangan merasa memiliki hak atas lahan tersebut karena telah mengantongi izin usaha pertambangan. Masyarakat akhirnya tergusur ketika haknya untuk mengolah lahan ini malah tidak bisa mereka dapatkan9. Masyarakat menuntut lahan yang merupakan hak mereka dan perusahaan tambang menginginkan hak juga untuk melakukan eksploirasi hingga akhirnya berujung ke konflik
Hal-hal diatas merupakan hanya segelintir akar permasalahan konflik pertambangan batubara yang terjadi di Propinsi Bengkulu. Akar permasalahan tersebut kian hari kian membesar karena hingga saat ini pemerintah belum bertindak tegas dalam memandang potensi konflik yang dapat terjadi akibat keberadaan pertambangan di Bengkulu. Pihak-pihak tertentu menganggap bahwa pada saat ini sangat perlu dilakukan tindakan tegas dalam menghentikan dampak negatif pertambangan batubara dalam skala luas dan untuk periode jangka panjang.


Selasa, 18 Juni 2013

Landasan Hukum dalam Hak Guna Usaha (HGU)




Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 30 ayat 1 dan  2 berbunyi Ayat (1) berbunyi:  Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah : a. Warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dan Ayat (2) berbunyi: Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 



Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 34  berbunyi: Hak guna usaha hapus karena : a. Jangka waktunya berakhir; b.Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;  d. Dicabut untuk kepentingan umum; e. Diterlantarkan; f.Tanahnya musnah; g. Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2). 



Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010  Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Bab II Obyek Penertiban Tanah Terlantar Pasal 2 berbunyi: Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.



Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010  Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Bab IV Peringatan Pasal 8  Ayat 1 Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya. Ayat 2 Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. Ayat 3 Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan kedua. Ayat 4 Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaporkan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Kepala. Ayat 5 Dalam hal tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang dibebani dengan Hak Tanggungan, maka surat peringatan tersebut diberitahukan juga kepada pemegang Hak Tanggungan. Ayat 6 Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.



Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010  Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Bab v Penetapan tanah terlantar Pasal 9 Ayat 1 Kepala menetapkan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6). Ayat 2 Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.Ayat 3 Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.



Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010  Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Pasal 11 Ayat 1 Apabila tanah hak yang diterlantarkan kurang dari atau sama dengan 25% (dua puluh lima persen), maka Pemegang Hak dapat mengajukan permohonan revisi luas atas bidang tanah yang benar-benar digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian haknya. Ayat 2 Biaya atas revisi pengurangan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Pemegang Hak.



Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010  Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Bab VI Pendayagunaan Tanah negara bekas tanah terlantar Pasal 15 Ayat 1 Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. Dan Ayat 2 Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala.Pasal 16 Terhadap tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaannya tidak boleh diterbitkan izin/keputusan/surat dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Pasal 15. Dan Pasal 17 Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden.



Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996  Bagian Kelima  Kewajiban Dan Hak Pemegang  Hak Guna Usaha  Pasal 12  Ayat (1)  berbunyi: Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk : a. Membayar uang pemasukan kepada Negara; b. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; c. Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan criteria yang ditetapkan oleh instansi teknis; d. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha; e. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha; g. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;  h. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. 



Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 13 Berbunyi : Jika tanah Hak Guna Usaha karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka pemegang Hak Guna Usaha wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.



Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 40 tahun 1996  Bagian kedelapan  hapus nya hak guna usaha  pasal 17  Ayat  (1) . berbunyi: Hak Guna Usaha hapus karena : a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya; b. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena : 1).tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14; 2). putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e. ditelantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan Pasal 3 ayat (2).  Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi Tanah Negara. 



Keputusan Presiden Republik Indonesia  Nomor 34 Tahun 2003  Tentang  Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan Pasal 2  Ayat (1) Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Ayat (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a.Pemberian ijin lokasi; b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c. Penyelesaian sengketa tanah garapan; d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; e.Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;  g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; h. Pemberian ijin membuka tanah; i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/ Kota. 

Sabtu, 15 Juni 2013

Utang Negara dihilangkan atau dikelola

Meskipun utang negara bukanlah masalah baru bagi Indonesia, tidak berarti kehadirannya sama sekali bebas dari kontroversi. Akan tetapi masalah ini baru dirasakan cukup serius dan mengarah kepada persoalan politik dan kebijakan sejak terjadinya transfer negatif bersih (net negatif transfer) dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun anggaran 1984/1985.
Kalau dilihat angka-angkanya, secara absolut utang negara cenderung meningkat. Seperti data yang dilansir Koalisi Anti Utang (KAU), selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2004-2009 total utang negara Indonesia termasuk dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) meningkat 30,74% dari Rp. 1. 275 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 1667 triliun pada tahun 2009.
Dengan melihat angka kenaikkan tersebut, berarti pemerintahan SBY dalam satu periode telah menambah utang luar negeri sebanyak Rp. 392 triliun dalam jangka waktu kurang dari 5 tahun. Jika angka tersebut dibagi per tahun maka rata-rata peningkatan utang negara selama pemerintahan SBY periode 2004-2009 sebesar Rp. 78,4 triliun per tahun.
hal ini ibarat dua sisi mata uang, utang diperlukan untuk membangun negara namun sisi lain, utang bisa menjerat negara peminjamnya. Tak heran, masalah utang ini menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda.
Bicara tentang utang negara dalam konteks kebijakan publik, terdapat dua cara pandang yang berbeda. Cara pandang pertama dikenal sebagai developmentalisme yang melihat utang sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi program pembangunan sebuah negara dan diyakini memiliki dampak yang positif bagi perekonomian dan berujung pada kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, pandangan yang berseberangan dikenal sebagai strukturalisme yang melihat utang sebagai instrumen kebijakan yang harus dihilangkan karena merupakan akar ketergantungan. Pandangan ini melihat bahwa utang sengaja diciptakan untuk menekan masyarakat dan mengorbankan kesejahteraan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan kaum borjuis dan agen-agen kapitalisme.
Dinamika proses yang terjadi berakar pada perbedaan cara pandang yang melatarbelakangi setiap elite/aktor. Perbedaan cara pandang tersebut berasal dari dua kutub pemahaman, yaitu strukturalisme dan developmentalisme sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, beberapa kalangan masyarakat sipil dan elite individu kritis yang mempresentasikan pandangan strukturalisme berhadapan dengan pemerintah yang merepresentasikan pandangan developmentalisme.
Argumentasi yang sering kal dipergunakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Bappenas, ketika tidak menolak tambahan utang baru dengan argumen bahwa jumlah stok utang Indonesia belum mengkhawatirkan atau dalam posisi yang aman. Argumentasi ini menggunakan ukuran rasio stok utang terhadap PDB.
Sehingga meskipun fakta menunjukkan bahwa telah terjadi penambahan jumlah nominal stok utang secara absolut selama masa pemerintahan SBY, namun menurut pemerintah, produk domestik bruto (PDB) juga naik secara tajam hingga menyebabkan perbandingan stok utang nominal terhadap PDB menjadi jauh berkurang. Kedepanpun pemerintah memilih untuk terus mengefisiensikan pengelolaan utang dengan menekan rasio utang negara terhadap PDB hingga mencapai 24-25% pada tahun 2014.

Kontroversi Utang Negara
Sebagai negara bekas jajahan, para bapak pendiri bangsa memiliki komitmen untk mengembangkan sebuah ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial. Sebagaimana didefiniskan Soekarno, yang dimaksud dengan ekonomi kolonial adalah sebuah perekonomian yang memiliki 3 ciri sebagai berikut: 1) merupakan sumber bahan baku bagi negara-negara industri; 2) merupakan pasar bagi barang-barang hasil industri mereka;dan 3) merupakan tempat berinvestasi bagi modal negara-negara industri tersebut.
pada dasarnya, pandangan negatif tentang utang luar negeri bisa dilihat dari beberapa sisi. Setidaknya ada 4 hal yang perlu dicermati tentang utang luar negeri, yaitu dari segi efektifitaskelembagaan,ideologi dan implikasi sosial dan politik.
dari segi efektifitas, secara internal, utang luar negeri tiak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara dunia ketiga, tetapi juga diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat dan melebarnya kesenjangan. Sementar secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara dunia ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan kebutuhan terhadap utang luar negeri secara berkesinambungan.
Kedua, dari segi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) tidak hanya dipandang telah bersikap tidak transparan dan akuntabel,tetapi juga diyakini telah bekerja sebagai perpanjangan tangan negara-negara dunia pertama pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara penerimaan pinjaman.
Ketiga, dari segi ideologi, utang luar negeri diyakini telah digunakan oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika Serikta, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberalisme ke seluruh penjuru dunia, yang dengan itu pula negara-negara pemberi utang telah berkesempatan menguras potensi ekonomi negara-negara penerima pinjaman.
Keempat, dari segi implikasi sosial dan politiknya, di mana utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman, tetapi juga secara tidak langsung diyakini turut bertanggung jawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan.
Demikian juga bagi negara-negara peminjam seperti Indonesia, kesadaran tentang aspek ekonomis politis dari utang negara pada gilirannya akan melahirkan perbedaan pandangan, khususnya dari para elite/editor dan para pengambil kebijakan di negara-negara tersebut.

Kamis, 13 Juni 2013

Menggugat Kolonialism Sumber Daya Air dengan Modus Privatisasi

Air merupakan bagian penting bagi kehidupan  manusia dan alam semesta. Air adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang merupakan sumber daya alam milik publik yang dapat dipergunakan seluruh umat manusia dengan bebas. Namun, saat ini air mulai langka di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1998, 28 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air, bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Di indonesia, krisis air bersih mulai dirasakan oleh penduduk ibu kota dan di beberapa wilayah di pulau jawa. Kenyataan ini sangat ironis, karena Indonesia adalah negara kepulauan dengan 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir di seluruh indonesia.
Bebarapa wilayah Indonesia merasakan kesulitan mendapatkan akses air untuk keperluan pertanian, perkebunan dan atau bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. sebagian pakar lingkungan berpendapat, krisis air disebabkan karena faktor kerusakan ekologis. Di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah jauh menurun, mata air - mata air tercemar dan persediaan menurun secara drastis, bahkan di tahun 2008 tercatat 64 DAS di beberapa wilayah Indonesia berada dalam keadaan kritis. Selain faktor kerusakan ekologis, beberapa pakar berpendapat bahwa krisis air berkenaan dengan Privatisasi pelayanan pasokan air dan keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumber daya air. sekitar 95% dari kegiatan-kegiatan pelayanan air ini masih dikendalikan oleh sektor publik, yang kemudian diserahkan pada pihak swasta.
Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lahirnya undang-undang ini pada 19 Februari 2004 diikuti dengan terbitnya sejumlah peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan privatisasi air. Privatisasi air di Indonesia sangat berkontribusi terhadap krisis air bersih, karena UU No. 7 Tahun 2004 memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air (Air tanah, air permukaan, dan sebagian sungai) oleh badan usaha dan individu. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.
Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat, karena tidak memiliki akses untuk air minum, bahkan air bersih dalam jumlah yang memadai. Oleh karena itu, penyediaan kebutuhan pokok seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan-kekuatan pasar. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan privatisasi air dapat dikatakan tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian halnya dengan pemanfaatan sumber daya air, pemerintah harus pula mengoptimalkan pengelolaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Trend Global ; Privatisasi Air dan Dominasi Kapitalis, MNC
Menurut perkiraan, sekitar tahun 2025 dua pertiga penduduk dunia tidak akan memiliki akses kepada air minum dalam jumlah yang memadai. Namun, bagi banyak perusahaan multinasional "krisis air" bagi kemanusiaan tersebut dilihat sebagai peluang ekonomi. Dengan begitu, konspirasi kaum kapitalis dalam penguasaan sumber daya air, bukanlah sekedar isu. Majalah Fortune, edisi Mei 2000 menuliskan : Pada abad ke-21 air tampaknya akan mengambil peran yang dimainkan minyak pada abad ke-20, yakni menjadi komoditas bernilai yang menentuan kesejahteraan bangsa-bangsa. Namun, yang perlu diingat adalah air tidak seperti minyak, karena air tidak memiliki substitusi!
Secara global, MNCs berlomba-lomba menguasai bisnis air karena potensi keuntungan sekitar US$ 400 miliar hingga US$ 3 triliun per tahun (Laporan ICIJ, 2003). Pangsa air di dunia saat ini diperkirakan mencapai US$ 800 miliar, melibatkan 6% populasi dunia yang membayar kepada korporasi air untuk mendapatkan air. Pada tahun 2015 diperkirakan potensi keuntungan ini akan mencapai beberapa triliun dolar Amerika, jika privatisasi air minum milik pemerintah menjangkau 17% penduduk dunia. Dua korporasi papan atas dunia yang menguasai 70% pasar di sektor air adalah Vivendi Environment dan Suez Lyonnaise, keduanya dari Perancis. Jika pendapatan tahunan keduanya digabungkan akan mencapai US$ 70 miliar, termasuk sebesar US$ 10 miliar langsung dari jasa pelayanan air. Tahun 2001, hampir setengah pendapatan Suez sebesar US$ 38 miliar berasal dari perusahaan divisi airnya, Ondeo.
Melalui privatisasi air, maka jaminan pelayanan hak dasar rakyat banyak atas air ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar. Dalam hal ini, World Bank (Bank Dunia, BD) justru menyatakan bahwa manajemen sumber daya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai komoditas ekonomis, dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan 9Bank Dunia, 1992). Menurut BD, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah harga dan perlu dinaikkan.
Negara-negara kapitalis pengusung privatisasi air menggunakan berbagai instrumen untuk menyukseskan gagasan privatisasi air, baik melalui jalur resmi hubungan antar Negara, organisasi/fora internasional, maupun melalui berbagai tekanan politik dan ekonomi. Salah satu sarana ampuh yang dimanfaatkan adalah menggunakan organisasi-organisasi internasional seperti BD, ADB, dan International Monetary Fund (IMF), serta WTO, GATT, dll.  Sebagaimana layaknya penjajah, negara-negara kapitalis, bekerjasama dengan MNC yang dimiliki, telah menghalalkan segala cara untuk mencapai target privatisasi air di seluruh dunia.
Laporan International Coalition of Investigative Journalist (ICIJ) menganalisa bahwa dari total US$ 20 miliar pinjaman BD ke sejumlah negara dalam periode 12 tahun (1990-2002) ditemukan 276 pinjaman berlabel water suplay atau "penyediaan air". Dalam kurun waktu tersebut, 30 persen di antaranya dibarengi dengan syarat adanya privatisasi air. Syarat adanya privatisasi ini kemudian meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode 1990-1995 terdapat 21 pinjaman mansyaratkan adanya privatisasi sektor lain. Dan pada periode 1996-2002, angka ini meningkat menjadi tiga kali, yakni menjai 61 pinjaman.

Privatisasi Air di Indonesia
privatisasi air sebagai salah satu pangkal permasalahan krisis air di Indonesia, bermuara pada pengesahan UU No. 7 Tahun 2204 tentang Sumber daya Air. Dengan pemberlakuan undang-undanga ini, privatisasi air di Indonesia, baik oleh perusahaan swasta dalam negeri maupun asing semakin marak terjadi. Sebelumnya, berbagai pihak telah berupaya untuk membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 melalui uji materi pada Mahkamah Konstitusi, tetapi harapan itu kandas karena MK menolak permohonan uji materi undang-undang tersebut.
agenda privatisasi dengan pengesahan UU No. 7 Thaun 2004 didukung lembaga dunia, seperti BD, ADB, dan IMF. UU no. 7 Tahun 2004 membuka peluang sebesar-sebesarnya terhadap privatisasi, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun perusahaan perusahaan swasta, termasuk MNC. Serangkaian strategi dan langkah sistematis dengan melibatkan BD, ADB dan IMF gencar dilakukan untuk mendapatkan penguasaan atas air. Privatisasi SDA dengan mudah dapat diperoleh hanya dengan mengantongi izin pemerintah. Parahnya, praktek perizinan selama ini diwarnai korupsi dan menyampingkan hak masyarakat.
Dengan UU No. 7 Tahun 2004, penyerahan pengelolaan air kepada swasta telah dimulai. Padahal, pada tahun 2002 Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB telah menegaskan bahwa hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah.

Dampak Privatisasi Air di Indonesia
Kebijakan privatisasi air membawa dampak menurunnya produktivitas pertanian dan tidak terpenuhinya kebutuhan air bagi masyarakat. Masyarakat pun menjadi sangat dirugikan karena harus membayar mahal untuk memperoleh akses air bersih. Kerugian yang dialami tidak hanya kerugian ekonomi, namun juga kerugian ekologis. Sebagai contoh, privatisasi air menyebabkan lebih dari 9.000 KK di Serang terancam kekurangan air baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk lahan sawah akibat dari pembangunan-pembangunan pabrik Danone seluas 100 hektare sawah yang subur di Padaricang untuk kemudian dikonversi menjadi sumur arthesis penghasilan air. Akibat protes petani, maka kegiatan penyedotan air dihentikan pada September 2008.
Privatisasi air antara lain menyebabkan hak masyarakat sekitar hutan yang selama ini mengambil air dari sumber air di wilayahnya kian terancam. Mereka harus rela membagi yang selama turun temurun mereka ambil secara gratis, yang kemudian dikuasi swasta. Bahkan, bukan tidak mungkin, mereka pun harus membayar, tergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Fakta hari ini menunjukkan, pemerintah daerah kerap mendongkrak pendapatan asli daerahnya (PAD) ketimbang kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, semakin menunjukkan adanya legitimasi pelanggaran HAM atas rakyat oleh negara.
Bagaimana nyata dari penerapan UU No. 7 Tahun 2004 dapat ditelusuri lebih lanjut pada dua sektor usaha kegiatan eksploitasi air yang diprivatisasi, yakni 1) dalam bentuk usaha proses distribusi air, dan 2) dalam bentuk usaha penyediaan air minum dalam kemasan (AMDK). Usaha proses distribusi air umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum daerah (PDAM) milik daerah, sedangkan AMDK dijalankan tidak saja oleh perusahaan besar, termasuk MNC seperti Danone, tetapi juga perusahaan-perusahaan kecil yang menyebar diseluruh Indonesia.
Contoh lainnya adalah mengeringnya beberapa daerah aliran sungai (DAS). Dari 470 DAS di seluruh Indonesia, dengan luasan area 3 juta hektar, pada 2008 sebanyak 64 DAS atau seluas 2,7 hektar berada dala m kondisi sangat kritis. Diprediksi, angka ini terus meningkat setiap tahun jika eksploitasi sumber daya air terus berlangsung. Pada 1984, hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis; tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS kritis; tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis; tahun 1998 menjadi 42 DAS kritis; tahun 2000 menjadi 58 DAS kritis; tahun 2002 menjadi 60 DAS kritis dan tahun 2008 meningkat menjadi 64 DAS kritis.


Selasa, 11 Juni 2013

Kamuflase Reforma Agraria dibawah Rezim Pemerintah SBY

Pasca pemerintahan fasis suharto, kebijakan senada seirama terus berlangsung hingga periode pemerintah SBY sekarang ini. Lahirnya UU Penanaman modal No. 25 Tahun 2007, UU Minerba No. 4 Tahun 2009, Undang-Undang (UU) Perkebunan No. 18 Tahun 2004, UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2010 tentang Budidaya Tanaman. Perampasan tanah di dalam sektor kehutanan juga dibentengi dengan landasan hukum UU No. 41 Tahun 1999. Perampasan tanah untuk menunjang proyek infrastruktur menggunakan UU Pengadaan Lahan 2011.
Seluruh Instrumen hukum tersebut menyediakan landasan yang kokoh imperialisme secara sah dan resmi untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat Indonesia. Peranan negagra melalui pemerintah Republik Indonesia sangat terang melayani kepentingan imperialisme secara ekonomi, politik, kebudayaan hingga militer. Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah mendefinisikan seluruh aset dan investasi imperialis sebagai obyek vital yang dilindungi oleh hukum dan dijaga polisi-militer secara langsung.
Produksi pertanian yang bersandarkan pada monopoli tanah luas ynag menjalankan berbagai bentuk dan variasi penghisapan berbagai bentuk dan variasi penghisapan feodal tetap menjadi andalan utama negara da gantungan hidup bagi mayoritas rakyat. Sekitar 40 juta tenaga kerja terserap pada usaha pertanian ini, yang dalam keadaan sekarang, telah terbagi dalam dua kategori besar yaitu perkebunan besar monopoli milik tuan tanah dan pertanian berskala kecil yang dimiliki oleh rakyat, utamanya untuk tanaman pangan. Kedua cabang produksi pertanian tersebut berada dalam dominasi imperialisme dan menjadi sumber keuntungan yang luar biasa baik melalui operasi oligariki finansialnya dan sistem perdagangan monopoli yang mereka lakukan.
Pemerintah SBY jelas pemerintah anti landreform sejak berkuasa pada tahun 2004. ia telah mengeluarkan kebijakan landreform palsu untuk memperkuat dominasi imperialisme atas penghisapan feodal yang berlangsung di Indonesia melalui klas borjuis besar komprador, tuan tanah dan kapitalis birokrat. Program landreform palsu pemerintahan SBY yang utama adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dan Revitalisasi Pertanian, kehutanan dan Perikanan. Seluruh program ini mengacu pada program Bank Dunia di Indonesia termasuk Land Admnistration Project (LAP) yang telah dijalankan sejak pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Sebuah program sangat biadab berkedok program sertifikasi murah namun menyimpan tujuan jahat untuk mempermudah perampasan tanah milik kaum tani, menjadikan tanah sebagai komoditas serta jaminan utang pada perbankan (kapital finances).
"Selama SBY memerintah, ekspansi perkebunan sawit, perkebunan kayu untuk bubur kertas (pulp) dan tebu mengalami peningkatan berlipat-lipat".
Melalui program Land reform palsu tersebut, pemerintahan SBY terus memperluas penguasaan tanah mengandalkan regulasi negara yang berpihak pada tuan tanah besar dan penanaman kapital milik imperialis dan tindasan militer, polisi dan milisi bayaran. Selama SBY memerintah, ekspansi perkebunan sawit, perkebunan kayu untuk bubur kertas (pulp) dan tebu mengalami peningkatan berlipat-lipat. Hutan tropis primer yang sangat kaya vegetasi tumbuhan dan hewan, hutan gambut dan rawa di samping menjalankan secara kontinyu perampasan tanah milik kaum tani dengan berbagai metode eperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan KKPA. Pada masa pemerintahan fasis suharto perkebunan sawit seluas 5 juta hektar dan telah berkembang menjadi 15 juta hektar saat ini. Demikian pula dengan perkebunan kayu meningkat tajam seiring dengan dijadikannya bubur kertas sebagai komoditas ekspor prioritas negara. Bila dizaman Suharto perkebunan-perkebunan tersebut hanya massif di jawa dan sumatera, maka seka zaman pemerintahan SBY, sebagian besar lahan eks HPH di Kalimantan, Sulawesi dan Papua menjadi tempat ekspansi primadona.

Liberalisasi perdagangan komoditas pertanian di bawah pemerintahan SBY menjadi prioritas utama. Dimulai dengan pencabutan subsidi terhadap harga sarana pertanian seperti pupuk dan bibit, subsidi atas harga komoditas kaum tani juga dihapus dan dikorup oleh para kapitalis birokrat yang berurusan langsung dengan komoditas pangan maupun non pangan seperti BULOG dan unit pelaksana teknis pertanian dalam birokrasi negara. Gula, BEras, Kedelai, Jagung dan berbagai tanaman pangan lainnya sama sekali tanpa subsidi negara dan dalam waktu bersamaan produk impor masuk dengan bea masuk 0%. Sementara itu, produk pertanian milik imperialis Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang adalah produk bersubisid besar, dibiayai seluruh proses eksportasinya ke Indonesia, serta diproteksi dari barang yang sama dari luar dengan bea masuk mencapai 50%.
Perluasan kepemilikan tanah monopoli oleh tuan tanah disokong oleh kapital finance imperialis brbanding terbalik dengan penguasaan rakyat atas tanah yang terus menyempit. Di jawa, kepemilikan kaum tani atas tanah rata-rata 0,35 Hektar, turun secara kontinyu dari 0,5-1 hektar di era sebelumnya. Demikian pula dengan kaumt tani di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sekalipun mereka berdiam di pulau yang sangat besar dan jarang penduduk, kepemilikan kaum tani atas tanah terus mengalami kemerosotan dari sebelumnnya rat-rata 2 hektar menjadi rata-rata 1 hektar. Tanah-tanah petani plasma yang terintegrasi dalam tanah monopoli milik tuan tanah dipastikan bukan milik kaum tani lagi. Dengan berbagai manipulasi terselubung maupun represif, tanah-tanah tersebut telah berpindah tangan karena kelicikan tuan tanah dan bank pendukung dana perkebunan. Pemerintahan SBY terus berusaha memperkecil kepemilikan kaum tani atas tanah dengan berbagai regulasi pengadaan tanah untuk proyek pembangunan khususnya infrastruktur.

Di bawah pemerintahan SBY, Indonesia menjadi surga bagi penanaman kapital finans milik imperialis. Uang-uangnya ditanam selain dalam perkebunan seperti dijelaskan diatas, juga dalam pertambangan besar, dalam bank-bank dan berbagai institusi tinggi. Pemerintahan SBY adalah pemerintah anti industri nasional. Bangsa dan Rakyat Indonesia kehilangan syarat-syarat untuk menjadi negara industri maju karena seluruh bahan mentah pertanian dan tambang, energi, dan tenaga kerja Indonesia diabdikan untuk kepentingan imperialis. Selain pertanian, dominasi terbesar dari imperialisme berlangsung dalam sektor pertambangan, pertambangan minyak, gas, batubara, aneka logam menjadi andalan pemerintahan SBY untuk mengatasi defisit anggarannya. Di bawah pemerintahan SBY penguasaan imperialis terhadap pertambangan mencapai 85,4% dari seluruh konsesi minyak dan gas. Peta Pertambangan Indonesia yang dibuat di era pemerintahan Megawati Soekarno Putri dimanfaatkan oleh Pemerintahan SBY untuk menarik sebesarnya kapital imperialis di sektor pertambangan. Dengan kedok menutupi defisit Anggaran Belanja Negara (APBN). pemerintahan SBY berusaha meningkatkan produksi minyak dan gas serta sumber energi alamiah yang penting seperti batubara. Perusahaan tambang besar milik Imperialis AS dan Imperialis asing lainnya seperti ExxonMobile Oil, Chevron, British Petrolium, Santa Fe, Santos,menguras minyak bumi, gas alam dan batubara. PT. Freeport McMoran, Inco, Newmont, Unocal menguras berbagai biji besi, emas, nikel bauksit dan berbagai bahan mineral industri lainnya.