Kamis, 13 Juni 2013

Menggugat Kolonialism Sumber Daya Air dengan Modus Privatisasi

Air merupakan bagian penting bagi kehidupan  manusia dan alam semesta. Air adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang merupakan sumber daya alam milik publik yang dapat dipergunakan seluruh umat manusia dengan bebas. Namun, saat ini air mulai langka di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1998, 28 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air, bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Di indonesia, krisis air bersih mulai dirasakan oleh penduduk ibu kota dan di beberapa wilayah di pulau jawa. Kenyataan ini sangat ironis, karena Indonesia adalah negara kepulauan dengan 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir di seluruh indonesia.
Bebarapa wilayah Indonesia merasakan kesulitan mendapatkan akses air untuk keperluan pertanian, perkebunan dan atau bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. sebagian pakar lingkungan berpendapat, krisis air disebabkan karena faktor kerusakan ekologis. Di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah jauh menurun, mata air - mata air tercemar dan persediaan menurun secara drastis, bahkan di tahun 2008 tercatat 64 DAS di beberapa wilayah Indonesia berada dalam keadaan kritis. Selain faktor kerusakan ekologis, beberapa pakar berpendapat bahwa krisis air berkenaan dengan Privatisasi pelayanan pasokan air dan keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumber daya air. sekitar 95% dari kegiatan-kegiatan pelayanan air ini masih dikendalikan oleh sektor publik, yang kemudian diserahkan pada pihak swasta.
Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lahirnya undang-undang ini pada 19 Februari 2004 diikuti dengan terbitnya sejumlah peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan privatisasi air. Privatisasi air di Indonesia sangat berkontribusi terhadap krisis air bersih, karena UU No. 7 Tahun 2004 memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air (Air tanah, air permukaan, dan sebagian sungai) oleh badan usaha dan individu. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.
Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat, karena tidak memiliki akses untuk air minum, bahkan air bersih dalam jumlah yang memadai. Oleh karena itu, penyediaan kebutuhan pokok seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan-kekuatan pasar. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan privatisasi air dapat dikatakan tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian halnya dengan pemanfaatan sumber daya air, pemerintah harus pula mengoptimalkan pengelolaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Trend Global ; Privatisasi Air dan Dominasi Kapitalis, MNC
Menurut perkiraan, sekitar tahun 2025 dua pertiga penduduk dunia tidak akan memiliki akses kepada air minum dalam jumlah yang memadai. Namun, bagi banyak perusahaan multinasional "krisis air" bagi kemanusiaan tersebut dilihat sebagai peluang ekonomi. Dengan begitu, konspirasi kaum kapitalis dalam penguasaan sumber daya air, bukanlah sekedar isu. Majalah Fortune, edisi Mei 2000 menuliskan : Pada abad ke-21 air tampaknya akan mengambil peran yang dimainkan minyak pada abad ke-20, yakni menjadi komoditas bernilai yang menentuan kesejahteraan bangsa-bangsa. Namun, yang perlu diingat adalah air tidak seperti minyak, karena air tidak memiliki substitusi!
Secara global, MNCs berlomba-lomba menguasai bisnis air karena potensi keuntungan sekitar US$ 400 miliar hingga US$ 3 triliun per tahun (Laporan ICIJ, 2003). Pangsa air di dunia saat ini diperkirakan mencapai US$ 800 miliar, melibatkan 6% populasi dunia yang membayar kepada korporasi air untuk mendapatkan air. Pada tahun 2015 diperkirakan potensi keuntungan ini akan mencapai beberapa triliun dolar Amerika, jika privatisasi air minum milik pemerintah menjangkau 17% penduduk dunia. Dua korporasi papan atas dunia yang menguasai 70% pasar di sektor air adalah Vivendi Environment dan Suez Lyonnaise, keduanya dari Perancis. Jika pendapatan tahunan keduanya digabungkan akan mencapai US$ 70 miliar, termasuk sebesar US$ 10 miliar langsung dari jasa pelayanan air. Tahun 2001, hampir setengah pendapatan Suez sebesar US$ 38 miliar berasal dari perusahaan divisi airnya, Ondeo.
Melalui privatisasi air, maka jaminan pelayanan hak dasar rakyat banyak atas air ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar. Dalam hal ini, World Bank (Bank Dunia, BD) justru menyatakan bahwa manajemen sumber daya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai komoditas ekonomis, dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan 9Bank Dunia, 1992). Menurut BD, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah harga dan perlu dinaikkan.
Negara-negara kapitalis pengusung privatisasi air menggunakan berbagai instrumen untuk menyukseskan gagasan privatisasi air, baik melalui jalur resmi hubungan antar Negara, organisasi/fora internasional, maupun melalui berbagai tekanan politik dan ekonomi. Salah satu sarana ampuh yang dimanfaatkan adalah menggunakan organisasi-organisasi internasional seperti BD, ADB, dan International Monetary Fund (IMF), serta WTO, GATT, dll.  Sebagaimana layaknya penjajah, negara-negara kapitalis, bekerjasama dengan MNC yang dimiliki, telah menghalalkan segala cara untuk mencapai target privatisasi air di seluruh dunia.
Laporan International Coalition of Investigative Journalist (ICIJ) menganalisa bahwa dari total US$ 20 miliar pinjaman BD ke sejumlah negara dalam periode 12 tahun (1990-2002) ditemukan 276 pinjaman berlabel water suplay atau "penyediaan air". Dalam kurun waktu tersebut, 30 persen di antaranya dibarengi dengan syarat adanya privatisasi air. Syarat adanya privatisasi ini kemudian meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode 1990-1995 terdapat 21 pinjaman mansyaratkan adanya privatisasi sektor lain. Dan pada periode 1996-2002, angka ini meningkat menjadi tiga kali, yakni menjai 61 pinjaman.

Privatisasi Air di Indonesia
privatisasi air sebagai salah satu pangkal permasalahan krisis air di Indonesia, bermuara pada pengesahan UU No. 7 Tahun 2204 tentang Sumber daya Air. Dengan pemberlakuan undang-undanga ini, privatisasi air di Indonesia, baik oleh perusahaan swasta dalam negeri maupun asing semakin marak terjadi. Sebelumnya, berbagai pihak telah berupaya untuk membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 melalui uji materi pada Mahkamah Konstitusi, tetapi harapan itu kandas karena MK menolak permohonan uji materi undang-undang tersebut.
agenda privatisasi dengan pengesahan UU No. 7 Thaun 2004 didukung lembaga dunia, seperti BD, ADB, dan IMF. UU no. 7 Tahun 2004 membuka peluang sebesar-sebesarnya terhadap privatisasi, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun perusahaan perusahaan swasta, termasuk MNC. Serangkaian strategi dan langkah sistematis dengan melibatkan BD, ADB dan IMF gencar dilakukan untuk mendapatkan penguasaan atas air. Privatisasi SDA dengan mudah dapat diperoleh hanya dengan mengantongi izin pemerintah. Parahnya, praktek perizinan selama ini diwarnai korupsi dan menyampingkan hak masyarakat.
Dengan UU No. 7 Tahun 2004, penyerahan pengelolaan air kepada swasta telah dimulai. Padahal, pada tahun 2002 Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB telah menegaskan bahwa hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah.

Dampak Privatisasi Air di Indonesia
Kebijakan privatisasi air membawa dampak menurunnya produktivitas pertanian dan tidak terpenuhinya kebutuhan air bagi masyarakat. Masyarakat pun menjadi sangat dirugikan karena harus membayar mahal untuk memperoleh akses air bersih. Kerugian yang dialami tidak hanya kerugian ekonomi, namun juga kerugian ekologis. Sebagai contoh, privatisasi air menyebabkan lebih dari 9.000 KK di Serang terancam kekurangan air baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk lahan sawah akibat dari pembangunan-pembangunan pabrik Danone seluas 100 hektare sawah yang subur di Padaricang untuk kemudian dikonversi menjadi sumur arthesis penghasilan air. Akibat protes petani, maka kegiatan penyedotan air dihentikan pada September 2008.
Privatisasi air antara lain menyebabkan hak masyarakat sekitar hutan yang selama ini mengambil air dari sumber air di wilayahnya kian terancam. Mereka harus rela membagi yang selama turun temurun mereka ambil secara gratis, yang kemudian dikuasi swasta. Bahkan, bukan tidak mungkin, mereka pun harus membayar, tergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Fakta hari ini menunjukkan, pemerintah daerah kerap mendongkrak pendapatan asli daerahnya (PAD) ketimbang kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, semakin menunjukkan adanya legitimasi pelanggaran HAM atas rakyat oleh negara.
Bagaimana nyata dari penerapan UU No. 7 Tahun 2004 dapat ditelusuri lebih lanjut pada dua sektor usaha kegiatan eksploitasi air yang diprivatisasi, yakni 1) dalam bentuk usaha proses distribusi air, dan 2) dalam bentuk usaha penyediaan air minum dalam kemasan (AMDK). Usaha proses distribusi air umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum daerah (PDAM) milik daerah, sedangkan AMDK dijalankan tidak saja oleh perusahaan besar, termasuk MNC seperti Danone, tetapi juga perusahaan-perusahaan kecil yang menyebar diseluruh Indonesia.
Contoh lainnya adalah mengeringnya beberapa daerah aliran sungai (DAS). Dari 470 DAS di seluruh Indonesia, dengan luasan area 3 juta hektar, pada 2008 sebanyak 64 DAS atau seluas 2,7 hektar berada dala m kondisi sangat kritis. Diprediksi, angka ini terus meningkat setiap tahun jika eksploitasi sumber daya air terus berlangsung. Pada 1984, hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis; tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS kritis; tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis; tahun 1998 menjadi 42 DAS kritis; tahun 2000 menjadi 58 DAS kritis; tahun 2002 menjadi 60 DAS kritis dan tahun 2008 meningkat menjadi 64 DAS kritis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar