Selasa, 11 Juni 2013

Monopoli Tanah dan SDA

Perkembangan sistem ekonomi kapitalis yang eksesif dan merusak saat ini telah memasuki era imperialisme sebagai tahap tertinggi dan terakhir. situasi umum di era imperialisme ditandai dengan krisis demi krisis yang terus terjadi secara periodik, baik yang bersifat turun dan naik (boom and bush) di negeri-negeri utara maupun krisis yang semakin akut di negeri-negeri berkembanga (jajahan, setengah jajahan dan setengah feudal). kedua karakter krisis tersebut terjadi dalam periode sekarang dan terus menyeret dunia dalam jurang resesi ekonomi yang semakin dalam dan tidak ada jalan keluar. hanya memberikan solusi-solusi palsu untuk menyelesaikan krisis yang ada. Sistem kapitalisme telah  melewati masa kejayaannya dan menuju masa kehancurannya.
Di era resesi ekonomi global dewasa ini, masyarakat sedang menghadapi berbagai skema kebijakan politik, ekonomi ,kebudayaan dan militer dari negara-negara imperialis dunia di bawah pimpinan AS. seluruh skema tersebut hendaklah dimaknai sebagai serangkaian kebijakan dan tindakan negeri-negeri imperialis mengatasi krisis keuangan dan resesi ekonomi yang mereka alami. kebijakan dana talangan (bail-out) bagi perusahaan besar milik kapitalis monopoli maupun program penghematan anggaran (austherity program) yang merampas anggaran publik menjadi kebijakan domestik di negeri-negeri imperialis.
Instrumen utama yang dilakukan oleh imperialis adalah dengan menjalankan kebijakan politik neo-kolonial dan kebijakan ekonomi neo-liberal; mempromosikan demokrasi palsu ala AS melalui demokrasi elektoral untuk melahirkan pemerintah boneka an menjalankan neo-liberal dengan melancarkan de-nasionalisasi, deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan. Dominasi politik melalui pemerintah boneka merupakan skema utama untuk memastikan seluruh kepentingan ekonomi imperialis bisa berjalan berdasarkan undang-undang yang berlaku di negeri tersebut yang telah disesuaikan kepentingan mereka.
Sementara kebijakan luar negeri memiliki karakter khusus yang mencerminkan kekuatan kapitalis monopoli yang mengontrol kebijakan negeri-negeri imperialis tersebut. kebijakan negeri-negeri imperialis semakin menunjukkan watak mereka yang aslinya yakni fasis dan bar-bar. Di bawah pimpinan AS, mereka lancarkan perang agresi terhadap negeri-negeri berdaulat yang melawan atau mengancam kepentingan dan dominasi imperialisme AS. Mencaplok dan menguasai sumber daya alam dan energi vital untuk pemenuhan kebutuhan industri imperialis. disaat yang sama mereka semakin mengintensifkan eksploitasi dan penindasan untuk mengeruk super-profit sebesar-besarnya di negeri-negeri di bawah pemerintahan boneka imperialis yang kaya sumber daya yaitu seperti Indonesia.
Sejak tahun 2008 setelah resesi ekonomi melanda AS, Eropa hingga Jepang, AS telah menetapkan kebijakan strategis Asia Pasifik. Wilayah ini dinilai paling strategis secara geo-politik dunia dan menjadi kawasan prioritas bagi penyelesaian taktis krisis ekonomi AS. Wilayah Asia Pasifik merupakan rumah bagi populasi terbesar dunia yang akan menjadi buruh murah siap pakai. Tempat sumber daya alam dan bahan mentah paling kaya dan paling murah di dunia. Wilayah ini juga sekaligus pasar bagi barang komoditas industri kapitalis monopoli. Indonesia sebagai bagian dari wilayah Asia Pasifik merupakan salah satu sasaran prioritas untuk melayani kepentingan mereka dikawasan.
Ekspor kapital melalui skema penanaman investasi asing (foreign direct) investment) merupakan instrumen penting bagi kapitalis monopoli di negeri-negeri imperialis. Hal ini dilakukan agar kapital yang mereka rampas dari penghisapan bisa terus terakumulasi. Eksport kapital merupajan sarana penghisapan yang vital guna mengakumulasi profit di tengah krisis ekonomi jangka panjang yang dihadapi.
Rakyat dan kekayaan alam Indonesia merupakan sasaran empuk bagi seluruh skema kepentingan AS untuk mengatasi krisis saat ini. Jika menilik sejarah, hal yang dilakukan tidak jauh berbeda dilakukan ketika Indonesia dijadikan korban dalam penyelesaian krisis sistem feodal di negeri Belanda. dan melahirkan kolonialisasi di Nusantara selama ratusan tahun. Kolonialisasi ini mendapatkan perlawanan luas dari rakyat Indonesia. Demikian pada akhirnya pasca PPD II kolonialisasi Belanda runtuh ditandai dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Hanya berselang beberapa tahun kemenangan penuh rakyat Indonesia dirampas kembali oleh Imperialis AS. AS terus menjalan politik neo-kolonialisme atau penjajahan melalui pemerintah boneka yang mereka sokong agar bisa melayani kepentingan tuan imperialis-nya. terhitung sejak Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1948, status Indonesia sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal terus berlangsung hingga sekarang dan tidak ada perubahan fundamental.
"Perampokan sumber kekayaan alam dalam bahasa resmi pemerintah SBY dimaknai sebgai usaha meningkatkan penanaman investasi asing untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi pengangguran, merupakan program ekonomi kunci bagi pemerintah boneka imperialis di seluruh negeri".
Dewasa ini, kebijakan politik ekonomi SBY-Boediono yang pro modal asing semakin besar membanjiri berbagai sektor penghidupan rakyat baik diperkotaan maupun pedesaan. Atas nama Investasi dan pembukaan lapangan kerja negara melegitimasi perampasan tanah dan sumber kekayaan alam untuk kepentingan imperialis baik yang dilakukan oleh kaki tangannya di dalam negeri (termasuk negara sebagai tuan tanah). khususnya, di pedesaan; perampasan tanah untuk kepentingan perluasan perkebunan skala besar, pertambangan asing skala besar, lahan pertanian skala besar (food estates), taman nasional dan proyek infrastruktur bagi pegembangan fasilitas industri imperialis.
Pendek kata, seluruh skema imperialis pimpinan AS untuk mengatasi krisis tengah berlangsung dan kian menghancurkan Indonesia dengan berbagai cara; skema multilateral (G-20, APEC, WTO), maupun bilateral (Comprehensive partnership, AS-Indonesia, Jerman-Indonesia, Jepang-Indonesia,dsb). Di sisi lain, telah berdiri di barisan pelaksanaan yang terdiri atas korporasi besar asing (MNC dan TNC) dan perbankan besar asing (City Bank, Bank of America, Deutsche Bank, BPN Paribas, Credis Suisse, UBS AG, Sumitomo Mitsui Banking, JP Morgan, IFC, dsb) telah bersekutu dengan Bank Dunia, ADB, IMF, dikawal oleh USPACOM, dan dilayani oleh para pelayan domestik dalam negeri yang tunduk setia pada majikannya:pemerintah boneka, borjuis,komrador, dan tuan tanah.

Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Pencemaran air di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Pencemaran air dapat diartikan sebagai suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Perubahan ini mengakibatkan menurunnya kualitas air hingga ke tingkat yang membahayakan sehingga air tidak bisa digunakan sesuai peruntukannya. Fenomena alam seperti gunung berapi, badai, gempa bumi dll juga mengakibatkan perubahan terhadap kualitas air, tapi dalam pengertian ini tidak dianggap sebagai pencemaran.
Pencemaran air, baik sungai, laut, danau maupun air bawah tanah, semakin hari semakin menjadi permasalahan di Indonesia sebagaimana pencemaran udara dan pencemaran tanah. Mendapatkan air bersih yang tidak tercemar bukan hal yang mudah lagi. Bahkan pada sungai-sungai di lereng pegunungan sekalipun.
Pencemaran air di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas manusia yang meninggalkan limbah pemukiman, limbah pertanian, dan limbah industri termasuk pertambangan. Limbah pemukiman mempunyai pengertian segala bahan pencemar yang dihasilkan oleh daerah pemukiman atau rumah tangga. Limbah pemukiman ini bisa berupa sampah organik (kayu, daun dll), dan sampah nonorganik (plastik, logam, dan deterjen).
Limbah pertanian mempunyai pengertian segala bahan pencemar yang dihasilkan aktifitas pertanian seperti penggunaan pestisida dan pupuk. Sedangkan limbah industri mempunyai pengertian segala bahan pencemar yang dihasilkan aktifitas industri yang sering menghasilkan bahan berbahaya dan beracun (B3).
Asian Development Bank (2008) pernah menyebutkan pencemaran air di Indonesia menimbulkan kerugian Rp 45 triliun per tahun. Biaya yang akibat pencemaran air ini mencakup biaya kesehatan, biaya penyediaan air bersih, hilangnya waktu produktif, citra buruk pariwisata, dan tingginya angka kematian bayi.
Dampak lainnya yang tidak kalah merugikan dari pencemaran air adalah terganggunya lingkungan hidup, ekosistem, dan keanekaragaman hayati. Air yang tercemar dapat mematikan berbagai organisme yang hidup di air.

Sungai dengan Daerah Aliran Sungai di sekitarnya

Daerah Aliran Sungai di Indonesia semakin mengalami kerusakan lingkungan dari tahun ke tahun. Kerusakan lingkungan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi kerusakan pada aspek biofisik ataupun kualitas air.
           
Indonesia memiliki sedikitnya 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai. Dari 5,5 ribu sungai utama panjang totalnya mencapai 94.573 km dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) mencapai 1.512.466 km2. Selain mempunyai fungsi hidrologis, sungai juga mempunyai peran dalam menjaga keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata dan lainnya.

Saat ini sebagian Daerah Aliran Sungai di Indonesia mengalami kerusakan sebagai akibat dari perubahan tata guna lahan, pertambahan jumlah penduduk serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan DAS. Gejala Kerusakan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dilihat dari penyusutan luas hutan dan kerusakan lahan terutama kawasan lindung di sekitar Daerah Aliran Sungai.

Dampak Kerusakan DAS. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terjadi mengakibatkan kondisi kuantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif antara musim penghujan dan kemarau. Selain itu juga penurunan cadangan air serta tingginya laju sendimentasi dan erosi. Dampak yang dirasakan kemudian adalah terjadinya banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau.
Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) pun mengakibatkan menurunnya kualitas air sungai yang mengalami pencemaran yang diakibatkan oleh erosi dari lahan kritis, limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian (perkebunan) dan limbah pertambangan. Pencemaran air sungai di Indonesia juga telah menjadi masalah tersendiri yang sangat serius.

Bengkulu Terancam Krisis Ruang Hidup

Propinsi Bengkulu memiliki luasan tidak kurang dari 1,9 juta hektar. Dengan pembagian wilayah, luas hutan 900 ribu hektar lebih, luas areal yang telah dikuasai oleh Kuasa Pertambangan (KP) 200 ribu hektar, luas areal yang dikuasai Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan skala besar 450 ribu hektar.

Selanjutnya, bila diasumsikan luasan untuk fasilitas umum seperti masjid, kantor pemerintah, jalan umum, perguruan tinggi, tanah milik TNI-Polri, dan lain-lain seluas 100 ribu hektar. Sementara kita asumsikan jumlah penduduk Bengkulu 2009 adalah 1,8 juta jiwa. Artinya, ada sekitar 350 ribu hektar lebih sisa tanah yang bisa di akses atau digunakan untuk rakyat. Apabila tanah tersebut dibagikan secara merata artinya seluruh masyarakat Bengkulu hanya kebagian ¼ hektar per kepala.

Dari perhitungan sederhana ini dapat diprediksi bagaimana kondisi ruang hidup atau akses rakyat terhadap tanah semakin memperihatinkan. Ditambah lagi saat ini Pemerintah Bengkulu dari hari ke hari semakin membuka peluang lebar terhadap aktivitas penguasaan tanah dalam jumlah besar kepada perseorangan atau perusahaan, seperti pertambangan dan perkebunan.

Dari data yang dimiliki Walhi Bengkulu setidaknya, dalam tiga bulan terakhir terdapat 8 ajuan Draft Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang saat ini telah disetujui untuk melakukan aktifitas pertambangan, pemanfaatan hutan dan perkebunan. Dengan luasan yang beragam mulai dari 42 ribu hektar hingga 10 ribu hektar.

Sebagai analogi, PT Anugrah Pratama Inspirasi (API) memperoleh hak pengelolaan hutan menguasai 42 ribu lahan di Kabupaten mukomuko, jika 45 ribu ini dibagi empat, artinya sebanyak 11.250 orang telah kehilangan hak akses terhadap tanah.

Bisa dimengerti apa turunan akibat dari hilangnya akses tanah untuk rakyat ini?? Kemiskinan, pengangguran, krisis pangan dan juga semakin besarnya kerusakan lingkungan hidup, karena harus diakui lemahnya control dan ‘nakal’nya para investor dengan masih melihat isu lingkungan hidup sebagai hal yang tak berarti dan cenderung menghabiskan uang saja.

Contoh Kasus Krisis Ruang Hidup
Dalam tulisan ini hanya akan melampirkan sedikit saja sebagai contoh kasus

Kabupaten Mukomuko
Ada satu perkebunan besar di Mukomuko yakni PT Agromuko bergerak di perkebunan kelapa sawit, dengan luas HGU 22 ribu hektar. Beberapa desa di sekitar kawasan saat ini mulai mengeluhkan semakin menipisnya luasan desa mereka karena tanah desa telah habis digunakan oleh PT. Agromuko. Sedangkan laju pertubuhan penduduk semakin tinggi. Konflik antar warga dan perusahaan juga tinggi, walau saat ini bisa diredam oleh perusahaan dengan beragam pendekatan.

Tidak hanya itu, saat ini terdapat sedikit sekali sungai di Mukomuko yang dapat menyediakan air bersih bagi rakyat, selebihnya sungai di Mukomuko terindikasi tercemar oleh buangan limbah CPO. Penggunaan air isi ulang dengan gallon adalah alternative bagi rakyat.

Hasil riset Walhi untuk nelayan, saat ini mayoritas nelayan pinggir Mukomuko, Air Rami, Pasar Bantal, dan sekitarnya mengalami krisis hasil tangkapan dikarenakan ikan pinggir pantai beralih ke tengah laut karena tingginya sisa limbah CPO di laut pinggir. Tak jarang sering ditemui, ratusan ikan mati secara mendadak di beberapa muara di Mukomuko.

Kabupaten Seluma
Konflik antara masyarakat dengan perkebunan besar dan pertambangan juga terjadi di kawasan Seluma, Agricinal, PTPN VII, PT Famiaterdio Nagara, adalah merupakan beberapa contoh. Kebutuhan para investor akan syahwat bisnis begitu besar di kawasan ini, setidaknya 6 perusahaan pertambangan mengincar kawasan pesisir pantai Seluma, karena kawasan ini kaya akan mineral biji besi, dan beberapa zat radio aktif untuk pembuatan bahan baku pesawat. Masyarakat adat menjadi korban adalah hal biasa (informasi lebih lanjut baca: kabar dari Pulau 2009)

Tidak sedikit pula terjadi konflik dengan masyarakat yang merasa kawasan mereka diganggu. Banyak pula ditemukan investor yang tidak menghormati masyarakat setempat (ulayat), baik secara adat istiadat, pola kehidupan social, ekonomi, dan lain-lain.
PTPN VII hanya menyisakan kemiskinan bagi rakyat sekitar perkebunan, akibat tanah yang mereka ‘rampok’ mayoritas pendapatan ekonomi masyarakat setempat adalah ‘mencuri’ buah sawit di kawasan inti PTPN VII, kondisi ini tentu membuat aparat keamanan bersikap. Tidak sedikit warga yang ditembak, dan meregang nyawa, hanya karena kebutuhan akan sesuap nasi. Ini imbas daripada tak ada lagi tanah yang dapat mereka akses untuk menopang hidup.

Saat ini masih banyak para pemodal yang mengantri dan mengincar tanah dalam jumlah besar di Kabupaten Seluma.

Kabupaten Kaur
Hal yang sama juga terjadi di Kaur, setidaknya saat ini 26.500 hektar kawasan perkebunan produktif milik rakyat telah masuk dalam rencana HGU PT Desaria Plantation mining, dan PT Sepang Makmur Perkasa untuk perkebunan sawit. Perkebunan ini meliputi 8 kecamatan di Kaur dan 100 desa masuk dalam kawasan HGU. Dengan pola 80 persen inti dan 20 persen plasma, sebuah perhitungan yang tidak menguntungkan rakyat.

Apabila perkebunan ini beroperasi dapat dipastikan, pengangguran akan semakin meningkat. Dan rakyat yang terlanjur menjual tanahnya akan menjadi penonton di luar gelanggang. Jika mereka direkrut menjadi pekerja, paling tinggi pada level security/satpam.

Pertambangan biji besi juga terjadi di Kecamatan Maje, yang merusak areal sungai sebagai basis matapencaharian masyarakat setempat.
Kesimpulan
Pada umumnya tiga contoh kabupaten diatas merupakan cerminan dari Propinsi Bengkulu. Watak dan karakter pemimpin yang begitu memuja investasi, dengan skema ‘perselingkuhan’ antara pemerintah, dan pengusaha untuk mengeksploitasi rakyat. Apalagi di momment menjelang Pilkada. Semakin dekat waktu Pilkada maka semakin tinggi pula daftar antrian pengusaha yang akan melakuan eksploitasi. Inilah relasi bisnis dan kuasa.

Pada akhir dari tulisan ini ada beberapa catatan yang bisa dijadikan rujukan bagi calon pemegang kebijakan di Bengkulu, mahasiswa, aktivis, dan masyarakat umum:
1. Implementasi UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, yang tidak tunduk pada UU penanaman modal, batubara, dan perkebunan yang memihakpada kepentingan sikaya
2. STOP pemberian izin bagi HGU, KK, dan KP
3. Mendata dan mendistribusikan tanah kepada rakyat
4. Pemerintah harus segera mempunyai rencana strategis agar segala kekayaan alam dan akses tanah berbasis rakyat
5. Harus segera dibuat draft tandingan untuk pemanfaatan hasil alam bagi kepentingan rakyat

Cengkraman Kolonial, Rakyat sengsara Negara kehilangan Arah

sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah, dibandingkan dengan negara lain, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan sudah seharusnya bangsa ini menikmati kekayaan alam tersebut sebagaimana tercermin dari kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa ada jurang lebar antara kekayaan alam yang kita miliki dengan kesejahteraan masyarakat. Artinnya,  bahwa pengelolaan sumber daya alam belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan.
Kekayaan Alam indonesia yang begitu besar, pada kenyataannya selama ini tidak dikelola secara optimal dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. SDA justru dikelola secara tidak amanah, menguntungkan segelintir kelompok tertentu, serta berorientasi pada kepentingan jangka pendek semata.
Pengelolaan sumber daya alam juga tidak dilakukan dengan berpegang prinsip kemandirian bangsa. pertimbangan kepentingan strategis jangka panjang. seperti keberpihakan pada BUMN maupun industri nasional dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam, cenderung diabaikan. Padahal, pengelolaan aset-aset strategis seperti sumber daya alam sudah sewajarnya dilakukan atau setidaknya berada dalam kendali ketat negara. Hal ini terutama karena nilai penting aset-aset tersebut bagi hajat hidup rakyat banyak, sedangkan di sisi lain, ketersediaannya di dunia terus menipis.
Minyak dan Gas Bumi misalnya, sumber daya alam ini hingga kini masih menjadi sumber energi utama yang menggerakkan dunia. Karena itu, ketersediaan pasokan migas menjadi kunci pertumbuhan dan keberlangsungan aktivitas ekonomi di banyak negara. Sehingga, sangat dapat dipahami, jika akses terhadap migas menjadi bagian penting dari kebijakan strategis ekonomi politik sejumlah negara tersebut.
Bukti atas hal ini dapat kita lihat pada kecenderungan kian agresifnya BUMN migas di sejumlah negara seperti Malaysia (petronas), cina (Perochina/CNPC, Sinopec, CNOOC), brasil (Petrobas), atau Rusia (Gazpom, Lukoil) dalam melakukan ekspansi ke sejumlah negara untuk mengakses cadangan migas pada negara-negara tersebut. Mereka juga agresif dalam melakukan pembelian (akuisisi) terhadap perusahaan migas lainnya. CPNC misalnya, pada tahun 2005 mencatatkan diri sebagai BUMN migas paling aktif dalam melakukan transaksi merger dan akuisisi atas perusahaan-perusahaan migas lain.
menariknya meski BUMN-BUMN migas mencatatkan diri sebagai penguasa dominan atas cadangan migas dunia, namun aktivitas produksi justru lebih banyak disumbang oleh perusahaan-perusahaan migas swasta multinasional seperti ExxonMobil, Shell, dan Chevron. Sebuah kecenderungan yag menunjukkan bahwa BUMN-BUMN migas tersebut menekankan strategi penguasaan cadangan migas meski tidak untuk di eksploitasi dalam waktu dekat. Suatu hal yang dapat ditafsirkan pula sebagai nilai strategis migas yang akan kian meningkat pada waktu-waktu mendatang, sehingga membuat penguasaan atas pasokan dan ketersediaannya menjadi persoalan krusial.
Ironisnya, dikala BUMN-BUMN migas dunia kian agresif memainkan perannya dalam menguasai akses ke ladang-ladang migas, Pertamiina sebagai BUMN justru kian mandul. Jangankan melakukan ekspansi ke ladang migas negara lain, Pertamina bahkan harus kehilangan sejumlah ladang migas strategis di negaranya sendiri. Blok Cepu, Blok Semai V, dan Blok Natuna D-Alpha adalah beberapa contoh dari "kekalahan" Pertamina tersebut.
Pertamina seolah terus dilemahkan kemampuannya sehingga kian sulit bergerak dan memainkan perannya dalam pengelolaan migas. Previlage-nya sebagai pemegang kuasa pertambangan dicabut, statusnya diubah menjadi Persero (sehingga dapat diprivatisasi), dan pemerintah pun tak memberikan keberpihakan kepadanya dalam memperoleh tender pengelolaan migas. Pertaminan diharuskan bersaing dengan perusahaan migas lain dalam memperebutkan ladang-ladang migas di tanah air. atau dengan kata lain, meski harus berstatus BUMN, sesungguhnya Pertamina sudah tak lagi 'dianggap" sebagai anak pemerintah yang perlu didukung dan dibesarkan oleh pemerintah.
Persoalan diatas, hanyalah segelintir masalah dari sederet pesoalan pelik lainnya yang terdapat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia saat ini. secara nyata melihat bahwa persoalan-persoalan itu berakar terutama pada pengabaian amanat konstitusi oleh pemerintah. Amanat Pasal 33 UUD 1945, yaitu penguasaan negara atas cabang-cabang produksi strategis milik negara, untuk kemudian dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, seolah tak lagi menjadi panduan pemerintah dalam bersikap dan menetapkan kebijakan. Pemerintah, nyatanya kian terseret pada paham liberalisasi ekonomi, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pemerintah tak lagi sensitif menempatkan kepentingan rakyat banyak dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki negara, seperti pada tambang-tambang timah di Bangka Belitung, serta tambang nikel di Sulawesi. Demikian pula dengan pengelolaan tambang tembaga-emas di Papua, yang selama puluhan tahun dibiarkan dieksploitasi Freeport. Pemerintah juga tidak berbuat optimal dalam memanfaatkan sumber daya batubara yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Pemerintah tidak lagi menunjukkan komitmen untuk menjadikan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri oleh negara sebagai agenda strategis yang akan dijalankan.
Sebaliknya, yang dikedepankan jstru pertimbangan pragmatis jangka pendek seperti menghasilkan cash secara cepat dari pengelolaan sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam, seolah cukup dilakukan dengan prinsip "asal cepat berproduksi", asal cepat menghasilkan keuntungan".
Jelas, prinsip pengelolaan seperti ini akan sangat membahayakan ketahanan ekonomu negara di kemudian hari. Sumber daya alam akan habis terkuras tanpa meninggalkan manfaat optimal bagi rakyat dan negara yang memilikinya. Sedangkan disisi lain, potensi penerimaan negara di masa yang akan datang juga perlahan menghilang akibat terkurasnya sumber daya alam tersebut.

STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR




Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001). 
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan dimana batasnya dapat didefinisikan baik dalam konteks struktur administrasi pemerintah maupun secara ekologis. Batas ke arah darat dari  wilayah pesisir mencakup batas administratif  seluruh desa (sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah, Depdagri) yang termasuk dalam wilayah pesisir menurut Program Evaluasi Sumber Daya Kelautan (MERP). Sementara batas wilayah ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam proyek MERP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dengan skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), (Dahuri dkk.,1996).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah  pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut mencakup bagian laut yang  masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Daerah pesisir merupakan salah satu pusat  kegiatan ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut,  perdagangan, budidaya perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran  minyak dan sebagainya. Seperti diketahui  bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan lingkungan bahari yang paling produktif dengan sumber daya maritim utamanya seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), padang lamun  (sea grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan laut lepas serta sumber daya yang tak dapat diperbaharui lainnya seperti minyak bumi dan gas alam.
Manfaat ekosistem pantai sangat banyak, namun demikian tidak terlepas dari permasalahan lingkungan, sebagai akibat dari pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pantai. Permasalahan lingkungan yang sering terjadi di wilayah perairan pantai, adalah pencemaran, erosi pantai, banjir, inturusi air laut, penurunan biodiversitas pada ekosistem mangrove dan rawa, serta permasalahan sosial ekonomi.
Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena merupakan daerah pertemuan kekuatan yang berasal darat dan laut . Perubahan ini dapat terjadi secara lambat hingga cepat tergantung pada imbang daya antara topografi, batuan, dan sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Oleh karena itu didalam pengelolaan daerah pessisir diperlukan suatu kajian keruangan mengingat perubahan ini bervariasi antar suatu tempat dengan tempat lain.
Banyak faktor yang menyebabkan pola pembangunan sumber daya pesisir dan lautan selama ini bersifat tidak optimal dan berkelanjutan. Namun, kesepakatan umum mengungkapkan bahwa salah satu penyebabnya terutama adalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan yang selama ini dijalankan secara sektoral dan terpilah-pilah. Beberapa usaha untuk menanggulangi erosi dan mundurnya garis pantai telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait, diantaranya adalah dengan melakukan kegiatan pengisian pantai (beach fill). Tetapi pada kenyataannya pantai tersebut masih terjadi erosi dan terjadi mundurnya garis pantai di sekitar pantai pasir buatan.

Permasalahan Pesisir
Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang terus berlangsung dampak negatif  pun muncul. Dampak-dampak utama saat ini berupa polusi, abrasi, erosi dan sedimentasi,  kerusakan kawasan pantai seperti hilangnya mangrove, degradasi daya dukung lingkungan  dan kerusakan biota pantai/laut. Termasuk diantaranya isu administrasi, hukum seperti  otonomi daerah, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), konflik-konflik daerah dan  sektoral merupakan persoalan yang harus dipecahkan bersama melalui manajemen  kawasan pantai terpadu
Selain itu berdasarkan pemantauan Departemen Kelautan dan Perikanan serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, kenaikan muka air laut di Indonesia rata-rata 5-10 milimeter per tahun. Strategi adaptasi dan mitigasi belum menyeluruh sehingga garis pantai semakin mundur. Luas daratan hilang setiap tahun mencapai 4.759 hektar. Terkikisnya daratan pesisir itu memusnahkan vegetasi mangrove karena tidak mampu bermigrasi. Mangrove sebagai penahan gelombang air laut terancam punah.
Konsep Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang mengelola adalah semua orang dengan objek segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh  pengelolaan wilayah pesisir adalah ; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan. Yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial.
Pengelolaan terpadu Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, keberkelanjutan, meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam pengelolaan pantai juga harus diperhatikan upaya pengendalian kerusakan pantai. Selain itu diperhatikan juga upaya pengawasan. Pengendalian kerusakan pantai  merupakan upaya untuk mencegah, menanggulangi, serta melakukan pemulihan kualitas  lingkungan yang rusak yang disebabkan oleh alam dan manusia. Pengendalian Kerusakan pantai yang  dapat merugikan kehidupan, dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya  pencegahan, penanggulangan, dan  pemulihan. Upaya pencegahan dilakukan melalui  perencanaan pengendalian kerusakan pantai yang disusun secara terpadu dan menyeluruh.
Pencegahan dilakukan baik melalui kegiatan fisik dan/atau nonfisik. Kegiatan fisik  dapat berupa pembangunan sarana dan prasarana daerah pantai serta upaya lainnya dalam rangka  pencegahan kerusakan/ bencana pantai. Upaya pencegahan lebih diutamakan pada kegiatan nonfisik berupa kegiatan penyusunan dan/atau penerapan piranti lunak yang meliputi  antara lain  pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Pengendalian kerusakan pantai ini  menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola pantai dan  masyarakat.
Mitigasi bencana adalah kegiatan-kegiatan yang  bersifat meringankan penderitaan akibat bencana. Penanggulangan dilakukan secara  terpadu oleh instansi-instansi terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi  penanggulangan bencana pada tingkat nasional, Propinsi, dan kabupaten/kota.
Pemulihan kerusakan daerah pantai dilakukan dengan memulihkan kembali fungsi  lingkungan hidup dan sistem prasarana daerah pantai. Contoh upaya pemulihan terhadap kerusakan pantai dapat dijumpai pada:
·         Pantai berpasir yang mengalami kerusakan akibat pengaruh adanya angkutan pasir sejajar pantai atau angkutan pasir tegak lurus yang melebihi pasokannya.  Pemulihan dapat dilakukan dengan cara pengisian (suplai) pasir sampai pada kedudukan garis pantai awal ditambah dengan pengisian pasir awal dan pengisian pasir secara periodik sehingga pasir yang keluar seimbang dengan pasir yang masuk. Untuk mengurangi jumlah pasir yang diisikan secara periodik, maka pada lokasi pantai yang dipulihkan dapat dipasang krib tegak lurus atau krib sejajar pantai yang berfungsi mengurangi besarnya angkutan pasir sejajar pantai.
·            Pantai berbakau, maka pemulihan dapat dilakukan dengan usaha penanaman bakau. Agar bakau yang masih muda tahan terhadap hempasan gelombang, didepan lokasi yang di tanami bakau, perlu dipasang struktur semacam pemecah gelombang yang bersifat sementara. Apabila bakau telah tumbuh dan mampu menahan gelombang, pemecah gelombang tidak berfungsi lagi.
·            Pantai berkarang, pemulihan kerusakan karang dapat dilakukan dengan usaha penanaman karang, dengan cara menempelkan potongan karang pada akar karang yang masih ada. Untuk pemulihan pantai berbakau dan pantai berkarang perlu keahlian khusus dalam kedua bidang tersebut, antara lain ahli biologi dan lingkungan.
Perlindungan dan pengamanan daerah pantai terhadap ancaman gelombang, diutamakan menggunakan perlindungan alami yang ada. Kalau ternyata perlindungan alami sudah tidak dapat dimanfaatkan atau sudah tidak dapat diaktifkan kembali untuk kegiatan perlindungan pantai, maka baru dipilih alaternatif lain yaitu dengan menggunakan perlindungan buatan (artificial protection).
Alam pada umumnya telah menyediakan mekanisme perlindungan pantai secara alamiah yang efektif. Perlindungan alamiah ini dapat berupa hamparan pasir di pantai yang cukup banyak, atau tanaman pantai yang tumbuh di daerah berlumpur seperti pohon mangrove dan nipah, atau terumbu karang yang berada di sepanjang pantai. Perlindungan alami ini sudah berjalan sangat lama, sehingga telah membentuk suatu keseimbangan yang dinamis. Bilamana perlindungan alami ini terganggu maka akan terjadi ketidakstabilan di pantai tersebut.

Kerusakan Hutan Akibat Eksploitasi Pertambangan

Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan   sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.
Pertambangan batubara merupakan salah satu sumber devisa negara yang saat ini mendapat perhatian khusus. Aspek konservasi perbatubaraan adalah memanfaatkan energi seoptimal, seefisien dan seekonomis mungkin. Selain bermanfaat, kegiatan penambangan batubara juga menimbulkan dampak negative terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar area tambang. Kerusakan lingkungan akibat penambangan terjadi lebih parah pada sektor kehutanan, karena kegiatan ini akan mengakibatkan perubahan tutupan hutan dan menghancurkan ekosistem yang ada di permukaan.
Dampak nyata kegiatan penambangan berupa perubahan tipe penutup tanah dan pembukaan lahan. Lahan menjadi kosong, keras dan kering sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya erosi. Selain itu limbah bahan galian ditumpuk pada suatu lokasi yang pada saat hujan rentan terhadap erosi. Erosi yang terjadi tidak hanya berdampak pada area tambang, tetapi juga terhadap perairan di sekitar area tambang. Air menjadi tercemar dan dapat mengganggu kesehatan masyarakat yang menggunakan air tersebut maupun biota air yang ada di dalamnya. Sedimen yang terdapat di perairan dapat menyebabkan pendangkalan sungai.

Eksistensi batubara ini dapat berdampak positif dan negative bagi masyarakat sekitar. Dari sisi positifnya banyak masyarakat yang diuntungkan dengan adanya batu bara disekitar mereka sebab masyarakat dapat melakukan penambangan secara manual dengan cara mereka sendiri sehingga kehadiran batubara tersebut dapat menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat
Sedangkan dampak negative yang di timbulkannya yaitu menimbulkan kerusakan lingkungan sekitarnya karena air menjadi tercemar dan rusaknya jalan-jalan yang di lewati truk pembawa batubara.terjadinya pencemaran air yaitu ditandai dengan airnya berubah menjadi kuning/keruh sehingga tidak dapat digunakan oleh masyarakat Bengkulu,matinya vegetasi yang ada di sungai terutama tumbuhan dan ikan-ikan. Hal ini terjadi karena terkandungnya  bahan-bahan dan logam-logam yang berbahaya. Dan dampak negative yang dialami para penambang batubara adalah timbulnya gatal-gatal dan kutu air.

Aktifitas pertambangan dianggap seperti uang logam yang memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini menyokong pendapatan daerah Bengkulu  selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) seperti halnya penambangan yang dilakukan oleh penambang batubara di sungai dekat pantai UNIB depan dan sungai-sungai di dalam kota Bengkulu dapat mengubah secara total baik iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan.
Hilangnya atau musnahnya vegetasi yang terdapat pada sungai-sungai tersebut,terutama tumbuhan air,ikan dan udang yang hidup dalam sungai tersebut serta secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen dan pengatur suhu. Dan dampak secara langsung pada masyakat sekitar yaitu timbulnya gatal-gatal dan kutu air jika terkena air sungai tempat penambangan tersebut. Hal ini terjadi karena air sungai mengandung logam dan zat-zat berbahaya serta mengandung racun atau pun bibit-bibit penyakit.
Tidak hanya itu dampak penambangan batubara yang di rasakan oleh masyarakat Bengkulu yaitu rusaknya jalan-jalan di luar maupun di dalam kota Bengkulu akibat pengangkutan batubara oleh mobil pengangkut batubara tersebut serta timbulnya pencemaran udara sehingga  mengakibatkan sesak nafas dan batuk-batuk. Untuk itu dianjurkan kepada pemerintah dan masyarakat setempat,supaya lebih memperhatikan keadaan lingkungan,agar terhindar dari keadaan
beberapa kasus yang terjadi diantaranya Sebanyak tujuh dari 25 perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di tiga dari sepuluh kabupaten/kota yang tersebar di Provinsi Bengkulu, dianggap telah merusak hutan lindung. Berdasarkan hasil foto citra satelit yang dirilis balai pemantapan kawasan hutan di Palembang, Sumatera Selatan, kerusakan hutan di wilayah ini sudah mencapai 26,7 persen dari total luas kawasan hutan mencapai 900 ribu hektare. Tujuh perusahaan itu adalah PT Kusuma Raya Utama, PT Putra Maga Nanditama, PT Indonesia Riau sri Avantika, PT Bara Indah Lestari, PT Ratu Samban Mining, PT Barat Adi Pratama, dan PT Inti Bara Perdana. Kerusakan alam akibat pertambangan batubara di Bengkulu, sudah cukup parah karena ratusan kubangan bekas tambang dibiarkan gundul dan terbengkalai serta pencemaran sungai. Buruknya reklamasi pasca tambang menjadi pemicu kuat kerusakan alam akibat panambangan sehingga sungai-sungai untuk air minum warga sudah tercemar limbah batu bara.


Korporasi Menjerat Hak-hak Rakyat (Petani Sawah)

PRESS RILIS KASUS PROVINSI BENGKULU


1.     PENGALIHAN PERTANIAN PADA PIHAK KORPORASI


Menteri BUMN Dahlan Iskan menawarkan program pertanian berbasis koporasi, dimana sawah petani diserahkan kepada perusahaan atau BUMN yang akan ditunjuk, namun dengan jaminan setiap 1 hektar sawah dapat panen 4 ton per hektar. “Panen tersebut akan diserahkan kepada petani pemilik sawah. Dan dia (petani) tetap dipekerjakan mendapatkan upah kerja,” kata Dahlan.
Namun, minimal lahan yang harus digarap setidaknya mencapai 1.600 hektar sampai 2.000 hektar dalam satu kesatuan.  Lahan tersebut diserahkan pengelolaannya saja, agar bisa dikelola oleh BUMN. “Pekerjaannya masih melibatkan petani, dan hasilnya untuk petani. Tapi, semua dari 1.600 hektar atau 2.000  hektar, pemiliknya harus setuju,” kata Dahlan.
Sebab itu, tugas pemerintah Provinsi Bengkulu adalah melakukan sosialisasi kepada petani, agar memahami program peningkatan swasembada beras ini. Dia yakin, jika sistem pertanian berbasis korporasi tersebut dilaksanakan, maka Indonesia akan ekspor beras. “Tahun ini sebenarnya Indonesia sudah berani ekspor, tapi kurang yakin. Jika tidak ada wabah yang luar biasa, tahun ini sudah bisa ekspor beras,” ujarnya.
Dia mengatakan, Kementerian BUMN memang terkait dengan target swasembada beras, namun BUMN membantu program peningkatan swasembada beras tersebut. Yaitu dengan cara memajukan pertanian yang berbasis korporasi. “Selama ini pertanian di Indonesia bersifat individual, terserah petani saja. Misalnya mereka mau jual gabah, terserah mereka,” katanya.
Dia kemudian menceritakan, 30 tahun lalu petani di Indonesia masih giat. “Tapi sekarang sudah pada tua, anak-anaknya sudah bisa bekerja. Dan mereka tidak lagi bertani, kebutuhannya dicukupi anak-anaknya atau saudaranya. Sehingga, semangat bertani sudah tidak seperti dulu lagi,” ujarnya.
Saat ini Kementerian BUMN mencoba untuk menangani pertanian dengan basis sistem korporasi. Misalnya pengelolaan sawah berbasis korporasi, buah-buahan tropis berbasis korporasi, nantinya peternakan dan gula berbasis korporasi. “Jika pertanian berbasis korporasi, ketika pasokan dibutuhkan, bisa terjadi transaksi. Kalau individual ya terserah pemilik saja, mau jual sapi ketika ingin mengawinkan anak, ketika ingin naik haji, misalnya,” katanya.
Gubernur Bengkulu H Junaidi Hamsyah mengaku senang mendapatkan tawaran tersebut, dan akan segera menawarkan dan mensosiialisasikan kepada petani. Program yang dicetuskan Menteri BUMN Dahlan Iskan tersebut sangat bagus, sehingga akan ditindaklanjuti. “Petani akan seperti mendapatkan durian runtuh.  Sebab, meski dikelola oleh BUMN, hasilnya tetap diberikan kepada petani. Dan petani akan mendapatkan upah atas kerja mereka,” ujarnya.
Analisis KASUS
PENDATAAN
Analisa I
DATA LUAS PERTANIAN SAWAH PROVINSI BENGKULU TAHUN 2002-2013
NO
Tahun
Luas
1
2002
118.343 Hektare
2
2003
111.281 Hektare
3
2004
11.305 Hektare
4
2005
109. 875 Hektare
5
2006
107. 106 Hektare
6
2007
106. 822 Hektare
7
2008
105. 443 Hektare
8
2009
105. 443 Hektare
9
2010
104. 539 Hektare
10
2011
101.170 Hektare
11
2012
90.848 Hektare
Sumber  : BPS Provinsi Bengkulu
Berdasarkan data diatas terlihat sangat jelas bahwa lahan pertanian Provinsi Bengkulu semakin lama semakin menurun, dan ini dapat diprediksi lambat laun akan menghilang dengan sendirinya.  Indikasi problematika ini bermula dari kebijakan pihak pemerintah yang slalu mempropagandakan pengalihan status lahan pertanian menuju perkebunan tanpa ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya mengenai Hak Ulayat,  hak produksi Masyarakat, dll, ditambah lagi keluarnya kebijakan dari Menteri BUMN untuk membiarkan pihak korporasi mengambil peran dibidang pertanian. Oleh karena itu, permasalahan ini harus benar-benar dikaji dengan matang namun pihak pemerintah seolah-olah mengalihkan isu ini keranah kepentingan golongan tertentu dan melakukan pembodohan terhadap masyarakat dengan alibi swasembada beras dengan melibatkan pihak korporasi dalam pengelolaan lahan pertanian.
Selain itu,Penciutan lahan ini dikarenakan dibutuhkan penguatan kelembagaan struktural, dan menyamakan persepsi antara kepala daerah di kabupaten/kota. Seperti di Kepahiang, justru kepala daerahnya  mengencarkan  masyarakatnya untuk  menanam Sengon ketimbang  mempertahankan lahan pangan. Kebijakan  seperti ini dinilai Muslih  jurang sejalan dan tidak mendukung pada sektor  sektor pertanian.
Tak hanya itu, penyusunan RTRW  sangat mempengaruhi, karena apabila di dalam RTRW dinyatakan bahwa lahan pertanian tertentu bisa dialihfungsikan, maka perizinan untuk konversi lahan pertanian tersebut akan mudah didapatkan pengembang. di kota Bengkulu saat ini kawasan persawahan telah beralih menjadi bangunan-bangunan permanen.
Analisa II
JUMLAH RUMAH TANGGA PETANI KABUPATEN/KOTA 2012-2013
NO
KABUPATEN/KOTA
JUMLAH RUMAH TANGGA
1
Kota Bengkulu
12. 287
2
Bengkulu Selatan
29. 382
3
Rejang Lebong
53. 954
4
Bengkulu Utara
58. 114
5
KAUR
27. 803
6
Seluma
45. 042
7
Muko-Muko
28. 019
8
Lebong
26. 641
9
Kepahiang
31. 550
10
Bengkulu Tengah
20. 836

Jumlah
333. 624
Sumber : BPS, Diolah
                Berdasarkan data diatas jumlah keseluruhan Rumah Tangga Petani Provinsi Bengkulu bekisar 333. 624 Rumah Tangga, bila direlasikan dengan luas Pertanian Provinsi Bengkulu maka dapat kita analisis :
Luas Lahan/Petani = Luas Lahan Keseluruhan
Jumlah Rumah Tangga

Luas Lahan/Petani = 90. 848
333. 624
                              = 0, 27 Ha/ Petani Sawah

Jadi, jelas bahwa para petani Provinsi Bengkulu hanya mempunyai luas lahan sekitar 0, 27 Ha atau berkisar 37, 037 Meter2 perorang. Data ini apabila lahan petani sama rata namun apabila berbeda kita dapat menganalisa ketahap berikutnya :

Luas Lahan/Pertani Provinsi Bengkulu
Persentase
1 Ha (-)
 57% (dari Jumlah Petani)
1 Ha
15% (dari Jumlah Petani)
1 Ha (+)
28% (dari Jumlah Petani)
Sumber : Data diolah
Menurut kalangan petani 1,5 Hektare/Ha idealnya mendapatkan 3, 5 ton dan 1 ton mendapatkan 4 juta Rupiah (W. Riki, Harian Rakyat Bengkulu). Jadi, dari sini kita dapat hitung pendapatan/Petani dalam sekali panen berdasarkan data diatas:
a.       Jika (-) 1 Ha maka dapat diasumsikan mendapatkan hasil panen berkisar (-) 1 ton, berarti mendapatkan (-) Rp. 4 juta
b.      1 Ha dapat diasumsikan diatas 1 ton berarti mendapatkan (+) Rp. 4 Juta
c.       (+) 1 Ha dapat diasumsikan diatas 1 ton berarti (+) Rp. 4 Juta – Rp. 10 Juta)
Pertanyaannya apakah setiap Petani di Provinsi Bengkulu memiliki lahan 1 Hektare Sawah??  Berdasarkan data diatas, jelas persentase Petani di Provinsi Bengkulu luas Lahannya di bawah 1 Hektare. Lantas bagaimana mengatasi masalah ini? Dan ini akan berimplikasi pada kesenjangan sosial antar petani yang memiliki luas lahan 1 Hektare/Ha dengan petani yang luas lahannya di bawah 1 Hektare/Ha.
PEMBAHASAN
1.      Disaat kekurangan pangan bukannya memperkuat basis produksi pertanian rakyat, pemerintah justru mengganti peran petani kecil ke korporasi diantaranya melalui :
a.       Food Estate atau pertanian tanaman pangan berskala luas. Food Estate memberikan penguasaan penuh bagi perusahaan swasta nasional dan swasta asing untuk memproduksi pangan. Misalnya proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate (MIFEE) sudah mulai di garap oleh Wilmar Group dan Rajawali group, dan diikuti oleh perusahaan swasta asing dan nasional lainnya pada lahan seluas 570.000 ha yang dicadangkan Kementerian Pertanian periode 2010-2014. Kemudian PT Sang Hyang Seri dan PT Pupuk Sriwidjaja merespon program food estate seluas 100.000 ha di Kalimantan (Mentan,Suswono 15 April 2012), PT Nusa Agro Mandiri -pemilik restoran Solaria- 1.950 ha dan PT Miwon Indonesia 3.245 ha juga sudah mengelola Food Estate di Kalimantan.
b.      Pertemuan Forum Ekonomi Dunia Asia Pacifik (Jakarta 12-13 Juni 2011) menghasilkan kesepakatan untuk membentuk World Economic Forum Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture antara pemerintah dengan 14 perusahaan pertanian dunia seperti Medco, Nestle, Unilever, Cargill, Sygenta, Dupon, Mosanto, Mckinsey, Indofood, ADM, SwissRA, Sinar Mas, Bungee, dan Kraft.
c.       Gerakan Produksi Pangan dengan sistem Petani Plus Korporasi Negara. Ada lima Konsorsium BUMN yang terlibat : PT Pertani dan Sang Hyang Seri (penyedia benih); PT Pupuk Sriwijaya (pupuk); Perum Jasa Tirta I dan II (air); Perum Perhutani, PT Inhutani, dan PT Perkebunan Nusantara; serta Perum Bulog (pengelola hasil produksi) dengan salah satu skemanya yaitu pola pengelolaan (sewa lahan petani). Pemerintah membentangkan karpet merah bagi korporasi untuk semakin menguasai tanah dan pangan di Indonesia, sementara para petani semakin sengsara.
2.      Rencana kebijakan Korporasi sawah yang ditawarkan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan justru dapat mengancam keberadaan tanah ulayat dan hutan oleh korporasi.
3.      Deskripsi pembagian hasil yang tidak jelas dari kebijakan tersebut sehingga lebih cenderung merugikan pihak petani.
4.      Kebijakan ini bertentangan dengan program yang dilontarkan oleh Presiden SBY yaitu membagikan tanah kepada petani kecil (gurem) melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).
Resolusi
Pemerintah dalam hal ini Mengambil kebijakan untuk swasembada beras bukan dengan mengorbankan peran petani terhadap korporasi, seharusnya pemerintah memberikan solusi yang jitu seperti :
1.      petani didistribusikan tanah terlantar, sesuai PP 11 Tahun 2010. Kemudian difasilitasi dengan permodalan, sarana dan prasarana produksi pertanian,”
2.      perbaiki sistem distribusi pupuk dengan menyerahkannya ke Bulog kabupaten/kota. Lalu gapoktan ataupun kelompok tani mengambil langsung ke Bulog sesuai Rencana Dasar Kebutuhan Kelompok (RDKK), sehingga pupuk tersedia kapan saja.
3.      “Pemerintah juga harus mendorong berdirinya pusat-pusat penangkaran benih petani, sehingga bibit tidak langka setiap musim tanam Selanjutnya, Bulog bisa membeli hasil panen petani dengan harga yang pantas untuk meningkatkan kesejahteraan petani, daripada Bulog harus membeli ke korporasi.
4.      “Biarkan petani yang memproduksi kemudian BUMN di sektor hilir mengolahnya. Permasalahan pertanian bukan mengambil alih sektor hulu.
5.      Ekstensifikasi lahan atau usaha meningkatkan hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian baru,misalnya membuka hutan dan semak belukar, daerah sekitar rawa-rawa, dan daerah pertanian yang belum dimanfatkan
ANALISA LANJUTAN
Analisa Anggaran
Tanggal 20 Mei 2013 (Harian Rakyat Bengkulu)
Anggaran peningkatan produksi padi di Bengkulu bersumber dari BUMN dan DPRD Provinsi Bengkulu akan kembali menganggarkan produksi pertanian. Untuk tahun ini, penganggaran yang bersumber dari APBD Prov. Diantaranya :
NO
Keterangan
Jumlah
1
Peningkatan/optimalisasi lahan sawah
Rp. 3,99 Miliar
2
Pengadaan alat angkut hasil pertanian kendaraan roda 3
Rp. 393,1 Juta
3
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas dan Petani
Rp. 100 Juta
4
Peningkatan jalan sentra produksi pertanian
Rp. 1, 79 Miliar
5
Peningkatan kesejahteraan petani
Rp. 252, 75 Juta
6
Penyediaan sarana petani
Rp. 6, 12 Miliar

Jumlah
Rp. 12 Miliar
Sumber : Burhandari, M.Si (Anggota Komisi III DPRD Prov)


Analisa Kasus diatas
Analisa Anggaran
1.      Apabila untuk peningkatan/optimalisasi lahan sawah maka dapat kita analisa dengan menghitung jumlah anggaran/lahan sawah, maka :
Anggaran/Lahan Sawah = Jumlah Anggaran 1 tahun
                                                       Luas Sawah Keseluruhan

                                       = 3, 99 Miliar
                                           90. 848 Ha

                                       = 0,043 Miliar atau berkisar Rp. 43. 000.000/lahan Sawah
Jadi, jelas pada perhitungan diatas, anggaran Peningkatan/optimalisasi lahan sawah per Hektarenya berkisar Rp. 43.000.000 Juta, ditambah lagi bantuan dana dari BUMN, dengan anggaran sebesar ini tanpa bantuan pengelolaan Korporasipun Petani akan sejahtera dan mampu meningkatkan produksi pertaniannya hingga mencapai swasembada beras yang maksimal, dan ini apabila lahan sawah petani semuanya 1 Hektare, pada data sebelumnya menerangkan dengan jelas bahwa petani di provinsi Bengkulu persentase lahan sawah dibawah 1 Hektare jauh lebih besar dibanding lahan sawah 1 Hektare atau lebih.ditambah lagi dana bantuan dari BUMN. Kesimpulannya, dari hasil perhitungan diatas jelaslah sudah tanpa Korporasipun petani mampu meningkatkan kesejahteraannya dan meningkatkan produksi pertanian/swasembada beras tanpa melalui Korporasi.
2.      Untuk Pengadaan alat angkut hasil pertanian kendaraan roda 3, maka dapat kita hitung : jumlah Anggaran
             Jumlah RT Petani
           : Rp. 393.100.000 Juta
                    333. 624
           : Rp. 1178/Petani
Dari data diatas jelaslah sudah, dalam Anggaran Pengadaan alat angkut hasil pertanian kendaraan roda 3, petani hanya mendapatkan Rp. 1.178/petani, bagaimana petani dapat alat angkut hasil pertanian kendaraan??sementara petani hanya mendapatakan jatah Rp.1.178. ini problematika penganggaran yang sebenarnya tidak perlu terjadi,seharusnya pihak eksekutif menghitung dan mengkaji semua jumlah petani di Prov.Bengkulu agar anggaran ini tepat sasaran dan sesuai kebutuhan, bukan hanya sekedar menganggarkan tanpa ada tinjauan yang jelas.
3.      Peningkatan kesejahteraan petani, berdasarkan data diatas baik itu data dari anggaran Daerah dan Jumlah Rumah Tangga Petani, maka dapat kita analisa kesejahteraan 1 Rumah Tangga Petani : Jumlah Anggaran Kesejahteraan petani
                                       Jumlah Rumah Tangga keseluruhan
                                       252.750.000 Juta
                                       333. 624
                                     : Rp. 757,58
Berdasarkan perhitungan diatas, jelaslah sudah anggaran untuk kesejahteraan 1 petani hanya berkisar Rp. 757, 58.
4.      Penyediaan sarana petani, dengan data anggaran dan data jumlah keseluruhan Rumah Tangga Petani, maka dapat kita hitung sarana yang didapatkan/Petani :
Jumlah Anggaran Penyediaan sarana petani   = 6, 12 Miliar = Rp. 18. 344
Jumlah Keseluruhan Rumah Tangga Petani       333. 624
Berdasarkan perhitungan diatas, jelaslah sudah anggaran untuk penyediaan sarana petani yang didapat 1 orang petani berkisar Rp. 18. 344.

PEMBAHASAN
1.      Berdasarkan semua perhitungan Anggaran diatas, maka pendapatan/petani melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bengkulu yaitu :
·         Anggaran Peningkatan/optimalisasi lahan sawah + Pengadaan alat angkut hasil pertanian kendaraan roda 3 + Peningkatan kesejahteraan petani + Penyediaan sarana petani = Rp. 43.000.000 + Rp. 1.178 + Rp. 757, 58 + Rp. 18.344 = 43. 020. 279. 58, jadi, bantuan yang didapat 1 petani dari APBD berkisar Rp. 43.020.279,58 Juta
Jadi, dari hasil perhitungan diatas jelaslah sudah anggaran yang bisa dikelola oleh petani berkisar Rp. 43. 020. 279, 58/Petani, dan dengan anggaran ini petani mampu mengelola dan meningkatkan produksi pertaniannya bahkan swasembada beraspun akan tercapai tanpa harus Korporasi dalam Hal ini BUMN ikut campur dalam Pengelolaan lahan pertanian.
Berdasarkan pengakuan dari petani bahwa untuk modal dalam sekali panen berkisar Rp. 10 Juta (Harian Rakyat Bengkulu tanggal 13 Mei 2013). Maka dapat dihitung :
43. 020. 279, 58 Juta – Rp. 10.000.000 = Rp. 33. 020. 279, 58 Juta/ petani.
Jadi, dalam 1 kali panen petani justru surplus dana sebesar 33. 020. 279, 58 Juta. Sekalipun gagal panen petani tetap mampu bertahan/survive tanpa kendala sedikitpun.
2.      Tanpa bantuan dana dari BUMN pun petani mampu bertahan/ meningkatkan lahan pertaniannya untuk mencapai swasembada beras. Apalagi jika BUMN membantu disektor hilirnya. Dalam kurun waktu singkatpun petani qt sejahtera dan swasembada tercapai.
3.      Permasalahan yang sebenarnya dalam swasembada beras bukanlah dari petani tidak mampu menghasilkan, bagaimana petani mampu menghasilkan sedangkan bantuan untuk meningkatkan pertanian dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) provinsi Bengkulu belum terasa sepenuhnya, dikarenakan realisasi anggaran tersebut tidak jelas Implementasinya.
Kesimpulan
Berdasarkan data perhitungan diatas, petani mendapatkan subsidi anggaran tahun ini sebesar Rp. 43. 020. 279, 58/Petani, jika direlasikan dengan biaya produksi petani yang lahannya diatas 1 Hektare dalam 1 kali panen sebesar + Rp. 10 Juta, apalagi petani Prov.Bengkulu lahannya mayoritas dibawah 1 Hektare, maka dengan anggaran APBD Prov.Bengkulupun petani mampu meningkatkan produksi lahan pertaniannya tanpa harus pihak KORPORASI ikut campur. Permasalahannya, apakah anggaran ini betul-betul menyentuh kepada petani??apakah petani juga betul-betul mendapatkan manfaatnya dari anggaran sebesar ini? Jika dibandingkan antara surplus Anggaran Daerah dengan realita kondisi petani saat ini, sangatlah berbanding terbalik, ada apa dibalik semua ini?? Dananya ada tapi petani tetap tidak sejahtera?? Dan jika diasumsikan berarti Implementasi dan realisasi anggaran yang perlu diperjelas juga pengawasan yang dilakukan oleh pihak Legislatif juga patut dipertanyakan.
ANALISA LANJUTAN III
KPDT (Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (KPDT) RI mengucurkan bantuan ke Bengkulu sebesar Rp. 114 Miliar yang bersumber dari dana APBN tahun 2013 khususnya bantuan fisik. Klasifikasinya yaitu : pengadaan mesin perontok jagung, handtraktor, pembangunan perpusatakaan desa, bantuan computer dan sebagainya. Dana ini diperuntukan bagi kabupaten yang tertinggal, khususnya dibengkulu terdapat 6 kabupaten yaitu : Seluma, Kepahiang, Bengkulu Tengah, Lebong, Mukomuko dan Kaur. (Radar Bengkulu, 2 Juni 2013).
Dengan informasi ini artinya, para petani Provinsi Bengkulu mendapatkan bantuan dana dari berbagai sumber yaitu mulai dari APBN, APBD dan BUMN. Nah, jelaslah sudah meskipun tanpa korporasipun petani prov. Bengkulu mampu meningkatkan swasembada beras bahkan kesejahteraannya tercapai, permasalahannya adalah lagi-lagi Implementasi dan realisasi anggaran tersebut yang belum jelas, dan inilah salah satu indikasi mengapa petani kita saat ini kesejahteraannya masih dbawah rata-rata.